Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap mengapa belakangan jarang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Diketahui, KPK sudah delapan bulan 'puasa' melakukan OTT dan kegiatan penindakan itu akhirnya baru dilakukan di Kalimantan Selatan pada 6 Oktober 2024 lalu.
Dijelaskan Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, lembaganya kini alih fokus untuk mengusut kasus tindak pidana korupsi dengan metode case building atau membangun kasus ketimbang OTT.
Karena dengan case building, KPK ingin melakukan penyelamatan aset yang lebih besar lagi.
"Kembali lagi KPK saat ini fokus penanganan perkaranya itu sudah bukan bergeser, tapi kita berfokus ke case building yang berfokus pada kerugian negara yang besar," ucap Tessa dalam program 'Tanya Jubir KPK' di siaran langsung Instagram KPK, Jumat (25/10/2024).
"Jadi, kenapa kita fokusnya kepada kerugian negara yang lebih besar? Dan sudah mungkin tidak terlalu banyak kegiatan tangkap tangan," imbuhnya.
Baca juga: Kejagung Tangkap Terduga Makelar Kasus Ronald Tannur di Bali, Kejati: Belum Tahu Statusnya
Tessa mengakui pada masa awal pendirian KPK, lembaga antirasuah itu dikenal dengan operasi tangkap tangannya.
Menurut Tessa, kegiatan OTT itu cenderung mudah dilakukan.
"Kalau dulu branding KPK adalah tangkap tangan, kenapa? Karena pada saat KPK berdiri itu kita selain hanya tangkap tangan yang mudah, karena tangkap tangan itu cenderung mudah ya, ada informasi, ada pemberi, ada penerima, ada barang bukti, langsung ditangkap selesai," katanya.
Dengan beralih fokus untuk mengusut perkara dengan metode case building, KPK berharap bisa memulihkan aset negara lebih banyak lagi.
Baca juga: Mengapa KPK Tak Juga Panggil Gubernur Kalsel Sahbirin Noor? Nurul Ghufron Ungkap Alasannya
Kata Tessa, penyelamatan aset berawal dari perkara-perkara pengadaan. Hal itu tidak ditemukan dari kasus yang berawal dari OTT.
"Proses pengadaan yang sifatnya atau yang jumlahnya tentunya sampai triliunan, dan ini tidak bisa atau penanganannya bukan lagi tangkap tangan. Walau mungkin tangkap tangan tidak menjadi fokus, tetapi masih tetap bisa dilakukan," kata dia.
"Penindakan sekarang berupaya, oke, apa yang diberikan oleh negara return-nya harus lebih besar daripada itu, gitu. Dan untuk diketahui, return jangka panjang, selain penyelamatan aset, pendidikan dan peran serta masyarakat adalah investasi yang paling penting ke depannya," imbuh jubir berlatar belakang pensiunan Polri itu.
Sebagai informasi, sebelum OTT di Kalsel, terakhir kali KPK berhasil melakukan OTT adalah pada Januari 2024. Ada dua kasus yang saat itu di-OTT KPK.
Kasus pertama, pada 11 Januari 2024. Saat itu, KPK menangkap Bupati Labuhanbatu, Erik Adtrada Ritonga diduga terkait suap proyek pengadaan barang dan jasa.
Kasus kedua, pada 26 Januari. Saat itu, KPK melakukan OTT di Sidoarjo, Jawa Timur. KPK saat itu menangkap 10 orang.
Namun dalam OTT saat itu, KPK gagal menemukan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor alias Gus Muhdlor. KPK gagal menangkapnya.
OTT tersebut hanya berujung penetapan tersangka terhadap Siska Wati seorang Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo.
Baru lah pada Mei 2024, Gus Muhdlor menyusul ditersangkakan oleh KPK.
Setelah lebih delapan bulan lamanya, KPK baru melakukan OTT lagi di wilayah Kalimantan Selatan. Dalam OTT itu, ada tujuh tersangka yang ditetapkan KPK, salah satunya adalah Gubernur Kalsel Sahbirin Noor.
Baca juga: Kasus Pembunuhan Santriwati di Kendal, Keluarga Minta Pelaku Dihukum Mati
Meskipun Sahbirin tak terjaring OTT, KPK tetap yakin dia terlibat kasus pengaturan proyek di Dinas PUPR yang berasal dari dana APBD Pemprov Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2024.
Kendati begitu, hingga saat ini KPK belum melakukan penahanan terhadap Sahbirin Noor.