Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan PUSAKA Bentala Rakyat, turut menegaskan adanya praktik perampasan tanah/lahan masyarakat setempat melalui proyek food estate dengan mengatasnamakan solusi krisis pangan, energi, dan lingkungan oleh pemerintah.
Ia mencontohkan proses pembukaan lahan di Merauke, Papua Selatan, yang menggunakan ribuan alat berat dengan pengawalan ketat dari aparat keamanan.
“Negara sering menggunakan diskursus krisis sebagai alasan pengembangan proyek energi dan pangan. Akan tetapi, ini sebenarnya lebih banyak menguntungkan elit daripada masyarakat lokal. Kebijakan yang menyasar lahan adat seharusnya mendukung sistem pangan lokal. Proyek-proyek ini malah merusak ekosistem dan pengetahuan lokal yang seharusnya dilindungi,” ucap Franky Samperante.
Melihat masifnya kerusakan hutan atas nama program nasional oleh pemerintah, Agoeng Wijaya Soedjito, Redaktur Pelaksana Desk Sains dan Lingkungan Tempo, menyatakan kekhawatiran terhadap oligarki dan kekuasaan baru di Indonesia.
Ia menambahkan, bahwa ada kecenderungan pemerintahan yang baru akan memanfaatkan isu-isu iklim/lingkungan untuk kepentingan ekonomi bekala, serta oligarki akan mempengaruhi proyek-proyek besar.
“Tempo merekomendasikan untuk memperkuat aliansi antara masyarakat sipil, media, dan akademisi untuk menghadapi tantangan proyek nasional yang berdampak besar pada lingkungan dan masyarakat. Kekuatan aliansi ini penting untuk memperpanjang napas perjuangan dalam menghadapi isu-isu lingkungan, keberlanjutan, dan kesejahteraan sosial,” ungkap Agoeng Wijaya.
Berkaca dari peliknya persoalan restorasi lahan gambut dan food estate, Hana Syakira, relawan LaporIklim, mengatakan bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan muncul karena besarnya gap kolaborasi antar para pihak, yaitu pemerintah, lembaga masyarakat sipil, akademisi, dan media.