TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula.
Penetapan tersangka ini dilakukan Kejagung pada Tom Lembong karena ia berperan dalam mengeluarkan izin impor gula saat stok gula dalam negeri mengalami surplus pada 2015-2016 lalu.
Munculnya kasus Tom Lembong ini membuat publik mendesak Kejagung untuk memeriksa Mendag lainnya, terutama yang menjabat setelah Tom Lembong.
Salah satunya diungkapkan oleh eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap.
Menurut Yudi, Kejagung harus bisa mengungkap apakah kebijakan impor gula oleh menteri-menteri berikutnya sesuai dengan prosedur.
Serta harus memeriksa ada tidaknya potensi pidana yang dilakukan Mendag lainnya terkait kasus korupsi impor gula ini.
“(Kejaksaan harus mengungkap) apakah kebijakan impor gula oleh menteri menteri berikutnya sesuai prosedur atau tidak yang berpotensi pidana juga,” kata Yudi dilansir Kompas.com, Jumat (1/10/2024).
Lebih lanjut, Yudi menilai seharusnya Kejagung tak berpuas diri setelah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini.
Keduanya adalah Tom Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT PErusahaan Perdagangan Indonesia 2015-2016 berinisial CS.
Baca juga: Kejagung soal Penetapan Tersangka Tom Lembong: Perkaya Orang Lain dan Korporasi Juga Bisa Dipidana
Yudi pun mendesak Kejagung untuk terus mengembangkan kasus ini agar mafia impor gula ini bisa diberantas.
Dengan diberantasnya mafia impor gula, masyarakat akan mendapatkan harga gula yang layak.
“Masyarakat akan mendapatkan harga gula yang layak serta penerimaan negara tidak bocor,” ungkap Yudi.
Pakar Hukum UGM Soroti Kerugian Negara
Dosen hukum pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., menyoroti kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret Tom Lembong sebagai tersangka
Tom Lembong sudah dijebloskan ke Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024).
“Kasus Tom Lembong ini, saya kira, perlu dicek dulu. Satu, kalau dalam konteks Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, apakah unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang itu terpenuhi?” ujar Muhammad Fatahillah Akbar, Rabu (30/10/2024).
Ia mengatakan, berdasarkan press release yang dikeluarkan Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, kerugian negara itu dilihat dari keuntungan yang diterima oleh perusahaan swasta yang menerima impor gula kristal mentah.
Baca juga: Bahlil Prihatin atas Penetapan Tom Lembong sebagai Tersangka Kasus Impor Gula, Doakan yang Terbaik
“Itu harus dilihat karena unsur memperkaya korporasi itu tidak selalu sama dengan unsur yang merugikan keuangan negara,” bebernya.
Akbar mempertanyakan siapa yang menghitung kerugian keuangan negara itu, apakah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hal ini untuk memastikan angka kerugian yang diklaim dalam kasus ini dihitung secara valid dan akurat oleh lembaga yang kompeten, bukan hanya berdasarkan perkiraan dari penyidik atau kejaksaan.
“Dalam kasus ini, yang diperkaya adalah korporasi swasta karena dari delapan swasta itu menerima Rp400 miliar."
Baca juga: Sarat Kepentingan Politik, Ini 3 Sanggahan Said Didu Atas Penetapan Tersangka Tom Lembong
"Padahal, ini harus dilihat juga, kerugian itu bukan kerugian keuangan negara secara langsung, tapi juga dari PT PPI yang merupakan BUMN,” kata dia.
Akbar kemudian mengasumsikan kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini kemudian dikategorikan sebagai kerugian negara seluruhnya.
“Padahal, di situ juga harus diperhitungkan lagi. Modal disetor negara berapa dan lain sebagainya,” ungkap Akbar.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Theresia Felisiani)(Kompas/Syakirun Ni'am)