"Dalam Omnibuslaw PHK itu jadi dipermudah, orang gampang di-PHK, bayangin ya orang di-PHK cukup dengan WA. Ini negara dimana?"
"Orang lagi enak-enak kerja dikirim pesan WA suruh pulang PHK. Enak bener, gawat. Ini negara neoliberalisme yang oleh Pak Prabowo tidak inginkan," ujarnya.
Pesangon kecil bagi pekerja atau buruh yang di-PHK pun menurutnya sangat tidak adil. Praktek PHK sewenang-wenang dan pesangon kecil menjadi praktek yang dialami para pekerja atau buruh selama ini.
"Nah kemudian pesangonnya kecil. Itu sudah menjelaskan kenapa sekarang orang perusahaan itu lebih senang PHK kemudian pesangon kecil dan diganti outsourcing. Karena outsourcing kan bebas dalam Omnibuslaw," jelasnya.
Oleh sebab itu, kata dia, MK menyatakan hal itu tidak boleh terjadi dan para pekerja atau buruh harus dilindungi seturut UUD bahwa setiap warga negara berhak mendapat penghidupan dan pendapatan yang layak.
"Maka PHK itu oleh Mahkamah dikembalikan pada mekanisme yang lama harus dipersulit, ada tanda petik ya dipersulit melalui mekanisme," ucapnya.
Baca juga: 21 Pasal UU Cipta Kerja Diubah, Perusahaan Tak Bisa Lagi Sewenang-wenang PHK Karyawan
Oleh MK, kata dia, perusahaan tidak lagi bisa sewenang-wenang mem-PHK pekerja atau buruhnya. Harus ada mekanisme, tidak bisa lagi hanya melalui pesan WA dan sebagainya.
"Kalau kamu mau PHK, kamu harus kasih dulu surat tertulis, dipanggil itu buruh, maka dilakukanlah perundingan bipartit. Kalau ada serikat buruh, didampingi oleh serikat buruh."
"Kalau nggak selesai pergi ke Disnarker, mediasi, nggak selesai juga barulah dilayangkan surat ke The Labor Court atau PHI (Pengadilan Hubungan Industrial)."
"Jadi panjang nggak seenak-enaknya cukup pakai WA 'jangan datang lagi', security melarang, gerbang ditutup, dikasih pengumuman. Itu nggak bisa, kata Mahkamah nggak boleh, itu melanggar Undang-Undang Dasar. Kalau itu terjadi, berarti melanggar konstitusi, bisa kita penjarakan," tegasnya.
Simak wawancara lengkapnya hanya di YouTube Tribunnews.(*)