Jika mendapat grasi, kata Yusril, hukuman Mary Jane bisa diringankan menjadi hukuman seumur hidup.
Ia kembali menekankan, terkait pemberian keringanan hukuman berupa remisi, grasi dan sejenisnya, merupakan kewenangan kepala negara yang bersangkutan.
"Dalam kasus Mary Jane, yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia, mungkin saja Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur hidup, mengingat pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana Filipina, maka langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari presiden Filipina," kata Yusril.
Lebih lanjut, Yusril mengungkit Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa tahun lalu telah menolak permohonan grasi Mary Jane, baik yang diajukan oleh pribadi, maupun diajukan oleh pemerintah Filipina.
"Presiden kita sejak lama konsisten untuk tidak memberikan grasi kepada napi kasus narkotika," ujar Yusril.
Kasus Mary Jane
Mary Jane ditangkap di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada April 2010, mengutip Kompas.com.
Saat itu, petugas menemukan heroin seberat 2,6 kilogram di dalam koper yang dibawanya.
Heroin tersebut, dibungkus aluminium, membuat petugas curiga setelah koper melewati pemeriksaan sinar-X.
Catatan pengadilan mengatakan, Mary Jane diminta seseorang untuk terbang ke kota Yogyakarta, Indonesia dari Manila untuk menyerahkan koper tersebut kepada seorang pria.
Setelah ditangkap, Mary Jane selalu mempertahankan dirinya tidak bersalah dan tidak mengetahui apa-apa.
Dirinya mengakui tidak menyadari terjerumus dalam lingkaran narkoba, lantaran awalnya yang Ia tahu dirinya bermaksud melakukan perekrutan pekerjaan Filipina, mengutip Reuters.
Setelah proses hukum di Indonesia, pada Oktober 2010, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Mary Jane.
Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu pidana seumur hidup.