Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saksi ahli hukum keuangan negara, Dian Puji Simatupang menjelaskan beda kewenangan antara Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal penghitungan kerugian negara.
Penjelasan ini disampaikan saat ia dihadirkan sebagai saksi ahli a de charge atau ahli meringankan untuk terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yakni eks Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Baca juga: Kronologi Hendry Lie Tersangka Korupsi Timah Ditangkap Paksa, Pulang Diam-diam ke Indonesia
Dian menjelaskan berdasarkan Pasal 23E Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan turunannya Pasal 10 ayat 1 UU 15 Tahun 2006 Tentang BPK, kewenangan untuk melakukan, menilai, dan menghitung kerugian negara ada di ranah BPK.
"Jadi kalau dicari seluruh peraturan perundangan tidak ada satupun lembaga, kecuali BPK di pasal 10 ayat 1. BPK berwenang menilai kerugian negara akibat perbuatan hukum atau kelalaian di keuangan negara, APBN, APBD, dan seluruh pengelolaan negara lainnya,” kata Dian.
Sementara fungsi BPKP tertuang dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 Tentang SPIP, yakni jika diberikan mandat oleh BPK, atau dari presiden yang didelegasikan kepada menteri keuangan dan menteri dalam negeri untuk melakukan penghitungan kerugian negara.
Kemudian Perpres 192 Tahun 2014 tentang BPKP yang diubah pada tahun 2022, BPKP diberikan fungsi menghitung kerugian negara dalam konteks pengendalian internal pemerintah seperti identifikasi, untuk mencegah pemborosan penggunaan APBN.
Sehingga menurutnya jika BPKP menghitung kerugian negara tanpa mandat dari BPK atau presiden, maka perhitungannya menjadi tidak sah.
Baca juga: 3 Mantan Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung Bakal Jalani Sidang Tuntutan Kasus Korupsi Timah Besok
"Jadi tiga itu saja, atas dasar itu maka fungsi BPKP melakukan penilaian ke negara dapat dilakukan. Tapi kalau misalnya Presiden tidak meminta, BPK tidak, menteri keuangan tidak meminta, sehingga berarti kan tidak bisa melaksanakan fungsi penilaian kerugian negara tersebut," jelas Dian.
Di satu sisi lanjutnya, tambang bukan merupakan aset negara sesuai dengan PP Nomor 71 Tahun 2010.
Negara hanya sebatas memiliki hak pada penerimaan pajak dan PNBP yang dibayarkan.
"Maka disitulah di dalam PP 71/2010 jelas dinyatakan bahwa itu karena sedang dikerjakan dikuasai pihak lain, maka yang menjadi hak negara adalah pada penerimaan pajak dan juga PNBP serta hak-hak lain yang dibayarkan menurut peraturan perundang-undangan," ungkap Dian.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun.
Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.