Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter onkologi.
Kondisi ini menyebabkan penanganan kanker terutama pada anak dan dewasa di Indonesia belum optimal.
“Persoalan terbesar dalam penanganan kanker di Indonesia adalah dokternya, kita tidak punya dokter onkologi yang cukup,” ungkapnya pada website resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dilansir Sabtu (23/11/2024).
Menurut Budi, kekurangan dokter ini menyebabkan distribusi alat kesehatan ke rumah sakit di daerah juga terhambat lantaran tidak ada dokter spesialis yang mengoperasikannya.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah mengambil langkah berani dengan meluncurkan program fellowship dan mengembalikan kolegium kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Karena kita mau mempercepat program fellowship, sehingga dokter spesialis penyakit dalam bisa melakukan kemoterapi,” terang Budi.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah dokter yang mampu menangani kanker.
Sehingga lebih banyak pasien dapat diselamatkan dari bahaya kanker karena penyakitnya ditangani lebih cepat.
Lebih lanjut, Budi mengatakan, Pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Tiongkok, India, Jepang, dan Korea untuk mengirimkan 100 dokter setiap tahunnya.
Seratus dokter ini akan mengikuti program fellowship dalam bidang seperti kardiologi intervensional. Durasi pelatihan berkisar antara 6 hingga 24 bulan.
Baca juga: RS Harapan Kita Lakukan Operasi Jantung Robotik Pertama di Indonesia, Menkes Beri Apresiasi
Pemerintah mengambil kebijakan untuk mengirim belajar para dokter ke luar negeri dikarenakan terbatasnya kapasitas pendidikan di dalam negeri untuk program fellowship.
Untuk menyukseskan program ini, Menkes mengingatkan pentingnya dukungan dari berbagai pihak, terutama dari kolegium.
Tanpa dukungan kolegium, program peningkatan jumlah dokter spesialis yang berkualitas untuk kemoterapi dan intervensi medis akan sulit diwujudkan.
“Bagi sebagian kelompok, upaya ini tidak populer, tapi kita harus ingat 234 ribu orang meninggal setiap tahunnya,” tutup Budi.