Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Kepala BPOM Taruna Ikrar menegaskan, pihaknya tak segan mencabut izin apotek yang menjual antibiotik sembarangan tanpa resep dokter.
Hal ini penting untuk mencegah penggunaan antimikroba yang tidak tepat.
"Antibiotik itu harus pakai resep dokter. BPOM punya hak jika ada pelyanan farmasi yang tidak sesuai. Ini warning bahwa pelayanan kefarmasian dan apoteker harus ikuti aturan yang ada. Ada yang minta antibiotik harus pakai resep dokter," ujar dia urai Taruna Ikrar di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Pelayanan kefarmasian dan apoteker, ujar dia, diharapkan tidak sembarangan memberikan antibiotik tanpa resep.
"Sampaikan edukasi juga bahwa antibiotik harus berdasarkan indikasi dan harus diberikan resepnya oleh dokter," jelas dia.
Data hasil pengawasan BPOM menunjukkan bahwa sarana pelayanan kefarmasian (apotek) yang melakukan penyerahan antimikroba, khususnya antibiotik, tanpa resep dokter dari tahun 2021—2023 berturut-turut berjumlah 79,57 persen; 75,49 persen; dan 70,75 persen.
"Meski trennya menurun, namun tetap perlu diwaspadai karena rerata nasional penggunaan antibiotik tanpa resep dokter masih terbilang tinggi,” ungkap dia.
Data WHO menunjukkan resistensi antimikroba secara langsung bertanggung jawab atas 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2019 dan berkontribusi terhadap 4,95 juta kematian.
Beberapa penyebab munculnya AMR adalah penggunaan yang salah dan penggunaan antimikroba yang berlebih, kontaminasi lingkungan, transmisi di fasilitas kesehatan, diagnostik cepat yang tidak optimal, vaksinasi yang tidak optimal, obat substandar dan palsu, perjalanan dan administrasi obat massal untuk kesehatan manusia
Isu lain yang menjadi perhatian adalah pola pengobatan sendiri (swamedikasi) yang tidak tepat sehingga menyebabkan adanya sisa obat yang disimpan dan akhirnya dibuang sembarangan.
Imbas dari adanya AMR menyebabkan infeksi biasa seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri resistan dapat menjadi sangat sulit atau bahkan tidak bisa diobati.
“Dampaknya juga terhadap sektor ekonomi. Infeksi yang lebih lama dan lebih sulit diobati meningkatkan biaya perawatan kesehatan, termasuk biaya rumah sakit, perawatan intensif, dan obat-obatan. Selain itu, juga berdampak pada penurunan produktivitas kerja akibat meningkatnya angka kecacatan dan kematian akibat AMR,” papar Taruna Ikrar lagi.