Ia mengatakan, sengketa pemilu maupun pilkada kerap melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan, sehingga membutuhkan keahlian khusus dalam merancang strategi hukum. Advokat perlu meningkatkan kompetensinya.
“Kita tidak hanya cukup memahami aspek hukum substansif, tapi juga teknik, strategi, dan etika dalam memberikan pendampingan hukum, menjunjung tinggi prinsip keadilan, integritas, dan juga profesionalisme,” katanya.
Fahri Bachmid di antaranya menjelaskan tentang perselisihan hasil atau angka perolehan suara yang harus diterangkan dalam permohonan secara lengkap atau komprehensif dan detail.
“Lalu variabel-variabel yang memengaruhi angka itu apa? Apakah ada markup suara atau proses yang tidak benar karena money politics dan sebagainya,” kata dia.
Fahri Bachmid melanjutkan, dalil itu harus kuat dan tajam serta ditopang argumentasi dan alat-alat bukti yang benar. Kalau itu dipenuhi, pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) akan ditindaklanjuti MK.
Adapun Abhan di antaranya menyampaikan strategi penanganan perkara sengketa hasil pilkada, yakni pertimbangkan ketentuan ambang batas pengajuan gugatan ke MK sebagaimana Pasal 156.
Pada Pilkada 2020, setidaknya ada 4 putusan MK yang mengabaikan ambang batas, yakni perkara Pilkada Boven Digoel, Nabire, Yalimo, dan Banjarmasin.
Menurutnya, meski dalam beberapa perkara MK mengabaikannya, namun kalau bisa menyusun argumentasi permohonan pelanggaran yang substantif, tidak menutup kemungkinan akan dikabulkan.
Selanjutnya, ketelitian pada persoalan adanya selisih hasil perolehan suara pada setiap TPS atau rekapitulasi pada setiap jenjang rekapitulasi.
“Inventarisir semua laporan atau tindak lanjut dari Bawaslu dalam merespons laporan,” ujarnya.