Sementara itu, pengamat hukum pidana UPN Veteran Jakarta, Benny Harmoni Harefa mengatakan, terpenting dari kasus korupsi adalah membuktikan perbuatan niat jahatnya. Dan itu pula yang ingin dibuktikan Tom Lembong lewat kuasa hukumnya pada waktu praperadilan termasuk soal belum ada perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.
"Sejatinya objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sah tidaknya penangkapan, penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta ganti rugi dan rehabilitasi. Pasca-perluasan objek praperadilan melalui Putusan MK No 21/PUU/XII/2014, maka termasuk objek praperadilan sah tidaknya penetapan tersangka, sah tidaknya penggeledahan dan sah tidaknya penyitaan. Pembatasan semuanya pengujian ini dalam ranah acara/formil," ujar Benny.
Namun, kuasa hukum Tom Lembong sepertinya lupa bahwa untuk menetapkan seseorang tersangka merujuk KUHAP setidak-tidaknya adanya bukti permulaan yang cukup atau 2 alat bukti yang sah. Nah, berdasarkan pemaparan penyidik pada Jampidsus, Kejagung dalam sidang praperadilan tersebut, mampu membuktikan alat bukti untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka justru sudah melebihi dari ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP.
"Sehingga seharusnya KPK tidak hanya mengandalkan OTT yang disertai penyadapan. Namun harus mengkonstruksi (membangun) suatu perkara sejak awal dengan mengumpulkan seluruh bukti tanpa melanggar hukum acara (formil). Hal inilah yang sering dilakukan pidsus Kejaksaan," kata Benny.
Berdasarkan itu pula, kata Benny, hakim tunggal pada PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, menolak permohonan praperadilan Tom Lembong.
Atas dasar fakta itu, kata Benny, maka penting mendiskusikan proses dan hasil praperadilan terhadap KPK dan Jampidsus pada Kejagung.
"Karena hal itu pula, (KPK) perlu mengkonstruksi suatu perkara sejak awal. Sehingga terkumpul seluruh bukti dengan tanpa melanggar hukum acara atau formilnya suatu perkara," ungkap Benny.
Apalagi kedua kasus yang dimohonkan itu, kata Benny, sangat berbeda dalam penanganannya.
Kasus yang ditangani KPK berdasarkan operasi tangkap tangan atau OTT, sementara penyidik Jampidsus pada Kejagung membangun kasusnya yang menjerat Tom Lembong dari awal tanpa OTT.
Tentu saja membangun kasus dari awal itu, kata Benny, jauh lebih sulit ketimbang mengandalkan OTT yang selalu berdasarkan pengintaian dan penyadapan. Membangun kasus dari awal itu membutuhkan pemahaman hukum tinggi khususnya soal tindak pidana korupsi.
Apalagi, kata Benny, tindak pidana korupsi selalu pula melibatkan mereka yang disebut sebagai penjahat kerah putih atau orang-orang cerdas yang kerap memegang kekuasaan atau jabatan tertentu dalam pemerintahan.
Karena itu, kata Benny, penyidik pada KPK penting untuk belajar dari Jampidsus, Kejagung dalam menangani kasus tindak pidana korupsi agar tidak mudah kalah ketika digugat praperadilan.
"KPK kendati punya kewenangan supervisi, tidak perlu malu untuk studi banding ke Jampidsus Kejagung untuk belajar mempertahankan argumentasi dalam menghadapi praperadilan. Itu sebabnya, penting mendiskusikan hal tersebut terutama dalam rangka menyiapkan roadmap pemberantasan korupsi ke depan," tandas Benny.