TRIBUNNEWS.COM - Praktisi Hukum dan Akademisi, Sigit Nugroho Sudibyanto, mengatakan, penyandang disabilitas tak serta merta terbebas dari tanggung jawab hukum atas perbuatannya.
Seperti diketahui, belakangan ini publik dihebohkan kasus dugaan pelecehan yang dilakukan oleh pemuda disabilitas, I Wayan Agus Suartama (IWAS).
Pemuda asal Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu menjadi tersangka pelecehan seksual dengan korban diduga mencapai 15 orang.
Sigit menjelaskan, berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, proses hukum pidana bagi penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
Dalam jalannya proses hukum, memang ada hak-hak dan ketentuan khusus bagi penyandang disabilitas, seperti kemudahan akses dalam setiap tingkat pemeriksaan pada lembaga penegak hukum.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua penyandang disabilitas bisa bebas dari ancaman dan jeratan hukuman atas perbuatannya.
Ia mengatakan, mereka yang tak bisa dijatuhi pidana atau bisa disebut tidak cakap hukum adalah penyandang disabilitas mental, psikologi atau motorik.
"Secara fisik kita lihat dia memang memiliki kekurangan, tidak memiliki lengan, tetapi apakah kemudian secara psikologi, mental dan motorik, pelaku ini bisa bertanggung jawab," kata Sigit dalam program Talk Show Kacamata Hukum, Senin (9/12/2024).
"Ancaman hukumnya tetap pada umumnya, karena dalam perkara ini kan disabilitas fisik, kecuali kalau disabilitas mental, psikologi dan motorik," lanjutnya.
Meski tak bisa dipidana, penyandang disabilitas mental yang berperkara masih bisa dilakukan tindakan lain, seperti pemulihan yang dilakukan lembaga penegak hukum.
Namun ia menegaskan, dalam mengklasifikasikan penyandang disabilitas itu, penyidik perlu penilaian yang mendalam.
Baca juga: Temui Agus Buntung di Polda NTB, Mensos Pastikan Hak sebagai Difabel Terpenuhi
"Setiap disabilitas pertanggung jawabannya beda, apalagi terhadap disabilitas mental dan psikologis ini tidak bisa dipidana, tetapi bisa dilakukan tindakan. Karena disabilitas mental ini dia tidak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya, secara hukum dianggap tidak cakap hukum," paparnya.
Diketahui, kasus pemuda disabilitas asal NTB ini mencuat setelah seorang mahasiswi melaporkan dirinya sebagai korban.
Sejak itu, jumlah korban yang melapor terus bertambah hingga mencapai 15 orang, termasuk tiga di antaranya masih di bawah umur.