TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada Jumat (13/12/2024).
Dalam sidang kedelapan ini, MK mendengarkan keterangan dari sejumlah ormas keagamaan, yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang mengemukakan pendapat terkait kebijakan pemberian konsesi pertambangan kepada ormas.
Ulil Abshar Abdalla, perwakilan PBNU, menjelaskan ihwal mereka siap mendukung kebijakan pemerintah terkait pengelolaan sumber daya alam.
Menurutnya, kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan merupakan langkah terobosan untuk mewujudkan pemerataan pengelolaan sumber daya alam yang lebih adil.
“Selama ini, pihak yang menikmati konsesi pertambangan dan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara umumnya korporasi. Korporasi menjadi pondasi penting dalam ekonomi negara. Tetapi, konsesi tambang untuk ormas keagamaan adalah sebuah terobosan untuk melakukan pemerataan pengelolaan sumber daya alam secara lebih adil," jelas Ulil.
"Sudah saatnya penerima manfaat dari pengelolaan tambang diperluas cakupannya, sehingga ormas keagamaan yang telah memberikan kontribusi bagi negara dalam bidang pendidikan menjadi tepat sekali diberikan kesempatan pengelolaan ini,” ia menambahkan.
Di sisi lain, Johny Nelson Simanjuntak dari PGI menyatakan keprihatinannya terhadap dampak ekologis yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, terutama bagi warga gereja yang tinggal di kawasan tambang.
"PGI merasa prihatin dengan krisis ekologis akibat dari kerakusan umat manusia termasuk perusahaan tambang dan kekeliruan dari kebijakan negara yang tidak ada pengawasan yang ketat bagi perusahaan tambang," ujar Johny.
"Selain itu, gereja prihatin mendapatkan dampak negatif dari perusahaan tambang yang mengelola tambang secara tidak terkoordinasi dan tidak terawasi serta tidak terkendali," sambungnya.
Baca juga: Prabowo Pasang Badan Bela Jokowi, Soal Izin Tambang hingga Bantah Ada Titipan di Pilkada: Saya Jamin
Sementara itu, Marthen LP Jenarut dari KWI mengungkapkan, gereja Katolik memilih untuk tidak menerima tawaran pengelolaan tambang karena fokus pada karya pelayanan, peribadatan, dan kemanusiaan. KWI, menurutnya, lebih memilih terlibat dalam kegiatan yang mendukung prinsip keadilan sosial dan ekologi berkelanjutan.
Dari pihak PHDI, Ida Djaka Mulyana juga memberikan pandangannya mengenai kebijakan pemerintah ini. Ia mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan kesempatan pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan.
Namun, PHDI menyatakan mereka belum siap untuk mengelola tambang karena keterbatasan kompetensi dan kemampuan dalam menghadapi dampak lingkungan dari sektor tambang.
Sebelumnya, Rega Felix, seorang advokat dan dosen, mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Minerba, tepatnya mengenai perubahan yang menyangkut penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan.
Ia berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip afirmatif yang diatur dalam UUD 1945. Rega menyatakan bahwa penawaran tersebut harus berdasarkan pertimbangan yang tidak diskriminatif, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan, karena jika tidak, kebijakan itu bisa melanggar hak-hak dasar yang dijamin oleh UUD 1945.
Baca juga: Kunjung PGI, Menhut Minta Bantuan Ormas Keagamaan Jaga dan Kelola Hutan Indonesia
Dalam gugatan yang diajukan ke MK, Rega meminta agar klausul yang memberikan prioritas kepada ormas dalam pengelolaan tambang dianggap bertentangan dengan konstitusi, kecuali jika kebijakan tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan diskriminatif.
Ia juga mengusulkan agar pasal-pasal dalam UU Minerba tersebut dibatalkan atau diperbaiki untuk memastikan kesesuaiannya dengan prinsip keadilan dan non-diskriminasi yang tercantum dalam UUD 1945.