TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI menyoroti banyaknya kasus kekerasan yang viral di media sosial.
Mulai dari penganiayaan terhadap karyawan toko roti di Jakarta Timur, pemukulan terhadap dokter koas di Palembang, dan kasus-kasus lainnya yang hampir semuanya berakhir di kepolisian.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyebut bahwa fenomena memviralkan kasus ini merupakan bentuk pengawasan dan kepedulian masyarakat terhadap situasi keamanan.
“Fenomena viralin kasus ini sebenarnya seperti evolusi saja dari siskamling, ronda, kamtibmas, atau program keamanan apapun itu yang dilakukan oleh masyarakat. Bedanya, kita kini bisa memaksimalkan fungsi teknologi media sosial untuk melaporkan dan mengawasi dari setiap kejadian kriminal yang ada, jadi saya rasa, fenomena ini perlu ditanggapi dengan lebih bijak,” kata Sahroni saat dikonfirmasi wartawan, kemarin.
Sahroni menyebut, maraknya kasus viral baiknya tak membuat polisi merasa segan atau keduluan, dan sebaliknya, masyarakat juga tidak perlu memojokkan polisi lagi dengan istilah no viral no justice.
“Faktanya, menurut saya fenomena viral ini tidak perlu ditanggapi reaksioner. Polisi tidak perlu merasa keduluan atau segan gara-gara banyak kasus viral seperti ini, sebaliknya, masyarakat juga harus memahami bahwa viralitas yang mereka lakukan telah membantu polisi dalam bekerja, jadi tak perlu lagi polisi dipojokkan dengan istilah no viral no justice tadi,” ujarnya.
Lebih lanjut,, Sahroni juga meminta baik kepolisian maupun masyarakat agar bisa sama-sama berfokus pada substansi kasus dan proses penanganan hukumnya.
“Kalau ada kasus viral, masyarakat harus fokus pada substansi kasusnya, jangan justru ramai di istilah ‘no viral no justice’, karena sebenarnya kita ini lagi membantu polisi dengan melakukan perekaman kasus," ujarnya.
"Seperti kita tahu, saat inikan jumlah aparat kepolisian ini terbatas, sementara kasus yang ditangani, termasuk yang tidak viral, itu sangat banyak. Jadi memang kita sebagai masyarakat juga justru turut berkontribusi,” pungkasnya.