TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi menang di Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia.
Gugatan tersebut teregister pada 29 Desember 2023.
Baca juga: MA Sebut Novum yang Diajukan Terpidana Vina Cirebon Bukan Bukti Baru, Susno Duadji: Kelihatan Lucu
"Kami menggugat karena Permendag tersebut karena tidak mempertimbangkan beberapa peraturan yang lebih tinggi, yang justru menetapkan Asbes sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti PP 74 Tahun 2021 dan peraturan menteri lainnya," ujar Kepala Divisi Penyuluhan dan Pembelaan Yasa Nata Budi, Leo Yoga Pranata dalam pernyataannya, Rabu (18/12/2024).
Namun usai menang di MA, LPKSM Yasa Nata Budi justru digugat oleh Asosiasi Industri Fiber Semen Indonesia.
Baca juga: 7 Terpidana Kasus Vina Cirebon Menangis di Lapas Setelah Dengar PK Ditolak Mahkamah Agung
Mereka menghadapi tuntutan pidana terkait pelanggaran UU ITE. Nilai tuntutan yang diajukan tersebut mencapai Rp 7 miliar.
"Atas kemenangan itulah kami digugat oleh asosiasi Industri produsen atap asbes,” ujar Leo.
Terkait gugatan tersebut, Kuasa Hukum LPKSM Yasa Nata Budi, Dadan Januar mengatakan gugatan asosiasi tidak tepat karena menyasar keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung (MA) bukan oleh Yasa Nata Budi.
“Yang dipersoalkan asosiasi terhadap Yasa Nata Budi itu adalah hal yang sudah dipertimbangkan dan diputus oleh MA. Jadi bukan Yasa Nata Budi yang mendiskreditkan atau melarang asbes dan memutusnya perlu dilabelisasi. Masa putusan MA digugat ke PN Jakarta Pusat dan menyasar warga negara yang telah diterima legal standingnya. Aneh itu,” papar Dadan.
Sejumlah aktivis HAM juga menyebut gugatan yang dilayangkan Asosiasi Industri Fiber Semen Indonesia sebagai gugatan strategis melawan partisipasi publik atau Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Maknanya adalah upaya-upaya industri untuk membungkam partisipasi publik dalam pembelaan dirinya.
Asosiasi industri Fiber Semen Indonesia menggugat Yasa Nata Budi karena dinilai melakukan disinformasi saat lembaga perlindungan konsumen tersebut mengajukan gugatan atas peraturan menteri perdagangan kepada Mahkamah Agung. Lebih jauh, asosiasi menuduh akibat akibat putusan Mahkamah Agung yang memenangkan LPKSM Yasa Nata Budi menyebabkan asosiasinya mengalami kerugian.
"SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation merupakan suatu upaya pelemahan melalui lingkup hukum yang didasarkan pada upaya untuk mengintimidasi, mengalihkan sumber perhatian, serta melemahkan daya perlawanan masyarakat yang peduli pada persoalan publik," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Bandung, Heri Pramono.
Baca juga: Soroti Institusi Sistem Peradilan Pidana, Reza Indragiri Beri Nilai Nol kepada KPK & Mahkamah Agung
Menurut Heri, sudah banyak deretan kasus yang mirip dengan apa yang terjadi terhadap LPKSM Yasa Nata Budi. Industri yang menggugat konsumen ini situasi yang buruk dan tidak boleh diteruskan.
"Harus ada perlawanan sistematis," kata Heri.
Ahli Toksikologi, dr Anna Suraya mengatakan gugatan LPKSM Yasa Nata Budi untuk labelisasi sebenarnya cukup moderat. Mereka tidak minta melarang hanya labelisasi. Kalau dari ilmu pencegahan risiko seharusnya faktor penyebab bahaya itu harus dihilangkan. "Riset doktoral saya yang dipublikasi secara internasional dengan data dari Indonesia, sudah membuktikan hubungan asbes dengan kanker paru,” ujarnya.