TRIBUNNEWS.COM - KPK telah menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjadi tersangka pada Senin (23/12/2024).
Penetapan tersangka terhadap Hasto ini dilakukan KPK karena Sekjen PDIP itu diduga telah melakukan tindak pidana korupsi, yakni dengan sengaja mencegah atau merintangi penyidikan kasus Harun Masiku.
Diketahui kasus Harun Masiku sendiri terkait dengan korupsi penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024.
Setelah Hasto menjadi tersangka, publik pun bertanya-tanya apakah Hasto memiliki andil dalam hilangnya Harun Masiku yang hingga kini masih menjadi buron KPK.
Saat menanggapi hal tersebut, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur menyebut KPK masih mencoba mendalaminya.
Hal itu juga telah menjadi materi penyidikan dalam kasus Hasto Kristiyanto ini.
KPK juga akan mendalami lebih lanjut apakah Hasto punya andil lain terkait lolosnya Harun Masiku saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020 lalu.
"Terkait masalah kebocoran OTT juga keterlibatan saudara HK dengan kaburnya saudara HM dll, itu yang sedang kita dalami tentunya," kata Asep dalam konferensi pers KPK pada hari ini, Selasa (24/12/2024).
Asep menuturkan penetapan tersangka pada Hasto ini didasari pada dua surat perintah penyidikan (sprindik).
Pertama, Hasto ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus suap berdasarkan Sprindik nomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Kedua, Hasto dijerat sebagai tersangka merintangi penyidikan berdasarkan Sprindik nomor Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Baca juga: Novel Baswedan: Hasto Kristiyanto Sebenarnya Sudah Diusulkan Penyidik KPK Jadi Tersangka Sejak 2020
Dari dua sprindik itulah publik bisa melihat apa saja yang akan didalami KPK pada Hasto nantinya.
Yang jelas masalah suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku akan jadi materi penyidikan dalam kasus Hasto ini.
"Itu ada dua sprindik untuk saudara HK (Hasto Kristiyanto), salah satunya pasal 21, disini yang akan menjadi materi. Kita akan mendalami disitu," terang Asep.
Pasal yang Jerat Hasto Kristiyanto
Hasto resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam pengembangan kasus dugaan suap yang menjerat eks calon anggota legislatif (caleg) PDIP Harun Masiku.
Dalam surat yang diterima Tribunnews, Hasto Kristiyanto dijerat menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Berikut ini isi pasal tersebut:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000 setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Baca juga: Penetapan Tersangka Hasto Kristiyanto oleh KPK Diharapkan Tak Ada Muatan Politis
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000.
Tak hanya itu, Hasto juga dijerat dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berikut ini isi pasal tersebut:
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/ Ilham Rian Pratama)