TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan nasional.
Meski menuai berbagai tanggapan dari masyarakat, penerapan kebijakan kenaikan tarif PPN pada tahun 2025 bukan berarti tidak disertai dengan antisipasi serta langkah strategis dari pemerintah terkait dampak-dampak negatif yang bisa ditimbulkan.
Salah satu dampak yang dikhawatirkan akibat kenaikan PPN adalah kontraksi ekonomi atau kondisi di mana aktivitas ekonomi suatu negara atau wilayah menurun, yang ditandai dengan penurunan PDB, konsumsi, investasi, dan produksi, serta peningkatan pengangguran. Kondisi ini umumnya terjadi selama resesi atau bahkan depresi ekonomi.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis periode tahun 2020-2024, Yustinus Prastowo, dalam keterangan tertulis, menyebutkan bahwa kenaikan PPN pada tahun 2025 memang berpotensi menimbulkan kontraksi ekonomi.
Menurutnya, saat pendapatan masyarakat sudah tertekan akibat kontraksi, kenaikan harga akibat PPN akan makin memberatkan, memperlambat pemulihan ekonomi, bahkan mendorongnya ke jurang yang lebih dalam.
Namun, Prastowo menggarisbawahi bahwa kenaikan PPN juga bisa menjadi sumber pendanaan untuk proyek-proyek strategis yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
“Misalnya, dana tersebut dapat digunakan untuk investasi infrastruktur atau program-program sosial yang menciptakan lapangan kerja. Keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola dana tambahan secara efektif dan menjalankan proyek-proyek tersebut dengan tepat,” ungkapnya kepada Tribunnews, Selasa (24/12/2024)
Pemerintah siapkan stimulus ekonomi
Prastowo menyoroti insentif dan stimulus sebagai langkah strategis yang telah disiapkan oleh Pemerintah. Menurutnya, insentif dan stimulus berperan penting dalam mencegah kontraksi ekonomi dengan mendorong aktivitas konsumsi, investasi, dan produksi.
“Meski kenaikan PPN 12 persen bisa memicu inflasi sekitar 0,2 persen, berbagai insentif yang disiapkan pemerintah diharapkan mampu meredam dampaknya, sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga,” ucapnya.
“Insentif dan stimulus ini tidak hanya dapat mencegah kontraksi ekonomi tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya beli, dan menciptakan lapangan kerja. Jika kenaikan tarif PPN diimbangi dengan program insentif, subsidi, atau bantuan sosial yang efektif, maka daya beli masyarakat dapat tetap terjaga meskipun ada kenaikan harga barang dan jasa,” ujar Prastowo.
Menyoroti peristiwa PHK yang marak terjadi, Prastowo menekankan bahwa hal tersebut tidak semata-mata terjadi karena penurunan daya beli, tetapi juga oleh perubahan dinamika pasar seperti pergeseran preferensi konsumen, digitalisasi, dan efisiensi operasional perusahaan.
Maka itu, selain menjaga daya beli masyarakat untuk mengantisipasi kemungkinan kontraksi ekonomi, Prastowo juga menekankan bahwa pemerintah juga perlu mendorong diversifikasi ekonomi, mendukung adaptasi pelaku usaha terhadap perubahan, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja, terutama untuk mengantisipasi banyaknya PHK di dunia pekerjaan.
“Langkah-langkah ini akan membantu menjaga stabilitas ekonomi secara menyeluruh dan memitigasi dampak negatif dari kenaikan PPN,” ujarnya.
Secara garis besar, paket stimulus ekonomi yang disiapkan oleh Pemerintah menyasar enam sektor, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut paket stimulus itu dirancang se-komprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.