TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, Kamis (2/1/2024).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, ini adalah putusan yang sudah lama dinanti masyarakat.
"Ini putusan yang bisa dikatakan fenomenal dan sudah dinanti cukup panjang ya paling tidak oleh banyak publik masyarakat," ujarnya dalam acara Breaking News di Kompas TV, Kamis.
"Mungkin juga sebagian partai politik yang menginginkan kesempatan yang sama bagi semua partai politik peserta pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden," imbuhnya.
Fadli meyakini bahwa upaya untuk menghapus presidential threshold sudah dilakukan sejak ketentuan ini pertama kali muncul pada tahun 2004 silam.
"Ini kan semakin tidak relevan karena mulai tahun 2019 yang lalu, penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak."
"Sehingga tidak relevan lagi hasil pemilu DPR, pemilu sebelumnya atau perolehan kursi DPR pada pemilu sebelumnya dijadikan dasar bagi partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden," tuturnya.
Menurutnya, dengan putusan ini, ke depan MK bisa memberikan kepastian hukum kepada semua partai politik peserta pemilu.
Dengan begitu, semua parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu setelah lolos verifikasi yang nanti dilakukan KPU untuk Pemilu 2029 memiliki hak dan kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden sendiri.
"Artinya kalau nanti ada satu partai politik baru misalnya yang tidak punya kursi di DPR, tidak punya perolehan suara pada pemilu sebelumnya, tapi memenuhi syarat menjadi peserta pemilu pada Pemilu 2029, dia punya hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden tanpa harus bergabung dengan partai politik yang sudah punya kursi atau sudah punya perolehan suara."
"Jadi ini jelas satu putusan yang sangat patut diapresiasi kepada MK meskipun baru diputuskan pada hari ini, tapi ini jelas suatu putusan yang memberikan implikasi perbaikan sistem elektoral pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia ke depan," tuturnya.
Baca juga: Partai Buruh: Putusan MK Soal Presidential Threshold 0 Persen Jadi Kemenangan Rakyat Indonesia
Putusan MK
Diberitakan sebelumnya, MK memutuskan menghapus ambang batas dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis.
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.
“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berkenaan dengan itu, MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya
Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
“Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.
(Tribunnews.com/Deni/Danang)