TRIBUNNEWS.COM - Mahasiswi Jurusan Hukum Ketatanegaraan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Enika Maya Oktavia membeberkan kisahnya bersama rekan-rekannya yang menggugat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai informasi, Enika menggugat presidential threshold bersama dengan tiga rekannya sesama mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yaitu Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Enika mengungkapkan awal mula dirinya dan rekan-rekannya berpikiran untuk menggugat presidential threshold saat berpartisipasi dalam lomba debat yang digelar oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pada tahun 2023 lalu.
Kebetulan, katanya, tema lomba yang diangkat oleh Bawaslu terkait penghapusan presidential threshold 20 persen.
Adapun tim Enika berhasil meraih peringkat runner up dalam lomba debat tersebut.
"Jadi kebetulan tim (debat) kami (bernama) KPK atau Komunitas Pemerhati Konstitusi memasuki debat Bawaslu RI dengan tema presidential threshold 20 persen dihapuskan."
"Sayangnya, kami kan kalah. Lalu kami berpikir, kita sebagai (komunitas) Pemerhati Konstitusi ini tidak hanya menjadi komunitas perdebatan saja," katanya ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (3/1/2025).
Setelah itu, Enika dan rekannya akhirnya berpikiran lewat debat yang sudah diikuti serta artikel terkait pandangan soal presidential threshold yang turut diterbitkan, maka mereka mengajukan gugatan ke MK.
"Kami awal men-drafting (gugatan) kalau tidak salah ingat, awal Februari (2024) saat kami menginjak semester 6," tuturnya.
Baca juga: Gugatan Ambang Batas Presiden 20 persen: Berkali-kali Ditolak, Kini Dihapus MK
Kampus Sempat Tak Tahu Enika dkk Ajukan Gugatan
Di sisi lain, Enika mengaku ketika timnya mengajukan gugatan ke MK, pihak kampus tidak mengetahuinya.
Dia mengatakan sejak pembuatan gugatan hingga awal persidangan digelar, seluruh persiapan dilakukan sendiri.
"Kalau kami sendiri, dari awal berjalan sendiri sehingga kampus tidak tahu menahu terkait gugatan kami," katanya.
Adapun pihak kampus baru mengetahui terkait gugatan yang diajukan oleh dirinya dan rekan-rekanya saat sidang untuk mendengarkan keterangan ahli.
Pasalnya, dia mengaku tidak memiliki jaringan untuk dihadirkan sebagai saksi ahli pada sidang tersebut.
Akhirnya, Enika dan timnya menghubungi pihak kampus yaitu Kaprodi Jurusan Hukum Ketatanegaraan Islam UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie.
"Di situ, kami merasa ada beban tersendiri dalam sidang keterangan ahli karena kami mahasiswa tanpa backingan, tanpa back up siapa-siapa, bergerak sendiri."
"Kami tidak memiliki kontak kepada para ahli atau petinggi dan lain-lain yang kami minta tolong untuk menjadi ahli. Jadi kami mengontak salah satu dosen kami yang kebetulan merupakan Sekprodi sekaligus Kaprodi Hukum Tata Negara," katanya.
Enika mengatakan timnya langsung diberi bantuan berupa finansial dan moral serta diberikan kontak ahli yaitu dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona.
Kendati memperoleh bantuan, Enika menegaskan gugatannya ke MK terkait presidential threshold tidak mewakili UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dia mengatakan status dirinya dan tim saat mengajukan gugatan sebagai masyarakat.
"Kami perlu pertegas bahwa apa yang kami kemudian sampaikan terkait gugatan kami tidak mempresentasikan pendapat instansi karena ini adalah pendapat pribadi dan juga mewakili personal kami sebagai masyarakat dan mahasiswa Hukum Tata Negara," jelasnya.
Alasan Enika Dkk Ajukan Gugatan Presidential Threshold usai Pilpres 2024
Enika juga turut menceritakan alasan timnya mengajukan gugatan presidential threshold setelah rangkaian Pilpres 2024 selesai digelar.
Dia mengatakan pihaknya tidak ingin gugatan yang diajukannya ke MK dinilai sebagai gugatan bersifat politis.
Selain itu, Enika tidak ingin hakim MK memutuskan gugatannya dengan adanya tekanan.
"Mengapa mengajukan gugatan setelah pemilu? Kami sendiri berharap bahwa gugatan diajukan setelah pemilu itu akan dianggap ini bukan permohonan politis."
"Sehingga nanti dari Mahkamah Konstitusi, dia saat memutus tidak ada tekanan dari berbagai pihak," katanya.
Meski persidangan berjalan hampir satu tahun, Enika dan tim mengaku puas akan proses yang dijalani serta putusan yang diumumkan oleh MK.
Menurutnya, proses persidangan yang digelar sepanjang tahun 2024 telah berjalan sesuai aturan dan menurut kajian akademis.
Harapan Enika Dkk ke Depan usai Gugatan Presidential Threshold Dikabulkan
Enika berharap dengan dikabulkannya gugatan penghapusan presidential threshold dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Selain itu, dia juga ingin masyarakat semakin banyak memperoleh alternatif capres untuk dipilih dalam pilpres ke depannya.
"Kami tentunya berharap bahwa ada peningkatan demokrasi khususnya untuk bagaimana masyarakat bisa memilih sesuai dengan preferensi orang yang ingin dipilih," katanya.
Enika juga ingin agar tidak ada lagi koalisi yang bersifat pragmatis yang justru semakin membatasi pilihan masyarakat akan capres yang berkontestasi.
Sehingga, sambungnya, seluruh partai dapat mengusung capresnya sesuai dengan ideologi yang dianut.
"Jadi tidak ada koalisi yang pragmatis melainkan koalisi yang berdasarkan kesamaan ideologi dan visi-misi. Sehingga, ada peningkatan pada nilai-nilai demokrasi dan kualitas pemimpin kita."
"Lalu, ada juga lebih banyak ruang-ruang inovasi dan untuk berkembang juga," pungkasnya.
Alasan MK Kabulkan Gugatan Presidential Threshold
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan timnya yang merupakan mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Adapun permohonan tersebut terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Suhartoyo, di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan presidential threshold yang tertuang dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami mahkamah , penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua paslon.
Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya dua paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.
Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.
"Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya
Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
"Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil," kata Saldi.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Danang Triatmojo)
Artikel lain terkait Presidential Threshold