News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemerintah Usul Penyakit Akibat Rokok Tak Ditanggung BPJS Kesehatan, Ini Kata Pakar

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini pemerintah mengusulkan penyakit akibat rokok tidak ditanggung oleh oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Terkait wacana ini, Pengamat Kesehatan dari Griffith University Australia Dicky Budiman ungkap ada dampak positif jika rencana ini benar-benar diterapkan. 

Salah satunya adalah dapat membantu mengurangi konsumsi rokok di tengah masyarakat. 

Baca juga: Kebijakan HJE Dikhawatirkan Tak Mampu Efektif Menekan Konsumsi Rokok di Masyarakat 

"Tentu ini satu hal yang bisa menjadi positif dalam upaya mencegah penyakit akibat rokok sekaligus mengurangi konsumsi rokok yang kita tahu memiliki dampak yang saat serius untuk kesehatan," ungkapnya pada Tribunnnews, Senin (6/1/2025). 

Dampak positif lainnya adalah dapat mengurangi beban finansial terhadap sistem kesehatan. 

Rokok, seperti yang diketahui menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Indonesia. 

Biaya pengobatan terhadap penyakit ini pun membutuhkan biaya yang sangat besar. Termasuk pembiayaan pengobatan yang ditanggung BPJS kesehatan. 

"Riset menunjukkan bahwa biaya pengobatan untuk penyakit akibat rokok bisa mencapai miliaran rupiah per-pasien dalam jangka panjang, tanpa adanya pembatasan. BPJS Kesehatan ini bisa terkuras habis mengurangi kemampuan untuk melayani pasien lain," paparnya. 

Rencana ini, kata Dicky bisa saja memberikan sinyal kuat pada masyarakat, bahwa perilaku merokok bukan hanya berbahaya bagi kesehatan pribadi, tapi juga punya konsekuensi finansial, sehingga dapat mengurangi prevalensi merokok, terutama ini kalangan usia muda.

"Dengan membatasi layanan untuk penyakit yang sepenuhnya bisa dicegah seperti akibat merokok ini, maka dana publik yang dikumpulkan ini bisa digunakan lebih efisien dan adil," imbuh Dicky. 

Di sisi lain, Dicky menyebutkan memang ada dampak negatif jika rencana ini diterapkan. 

Misalnya, muncul ketimpangan akses kesehatan. Masyarakat miskin yang merokok dapat kesulitan membayar biaya pengobatan secara mandiri.

"Kemudian, ada orang yang akan menganggap ini sebagai stigma dan diskriminasi. Karena merasa kebijakan ini tidak disosialisasikan secara baik," ujarnya. 

Oleh karena itu, Dicky merekomendasikan pada pemerintah untuk fokus pada penguatan komunikasi risiko tentang bahaya merokok.

Pemerintah juga perlu memberikan akses luas program berhenti merokok. Harus ada aturan khusus untuk perokok yang bisa dilakukan dengan pendekatan bertahap.

Misalnya ada beban denda tambahan untuk merokok aktif atau mengharuskan perokok mengikuti program berhenti merokok. 

"Kemudian juga peningkatan pajak rokok. Dana ini bisa digunakan untuk menutupi biaya pengobatan penyakit terkait rokok. Sekaligus mendanai kampanye pencegahan," tutupnya. 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini