Menurut Didid, penurunan nilai transaksi tersebut disebabkan antara lain karena pasar kripto global mengalami penurunan volume perdagangan, potensi krisis likuiditas rendah yang berdampak negatif pada stabilitas harga dan efisiensi pasar, serta tekanan jual melonjak yang menyebabkan harga aset kripto terkoreksi.
Kebijakan Federal Reserve Pemerintah Amerika Serikat terkait kenaikan suku bunga menyebabkan perubahan perilaku masyarakat dari yang sebelumnya memilih bertransaksi aset digital beralih ke tabungan.
Selain itu, saat ini masyarakat masih menunggu kebijakan pemerintah terkait UU P2SK.
“Namun demikian, dari sisi pemanfaatan teknologi blockchain, semakin banyak perusahaan seperti Meta, Google, dan Twitter yang mulai mengintegrasikan teknologi blockchain dalam kegiatan usahanya. Hal ini membuktikan bahwa ke depan perkembangan perdagangan fisik aset kripto masih cukup menjanjikan,” pungkas Didid.
Sebelumnya, Chief Technology Officer (CTO) Indodax William Sutanto mengatakan, kehadiran bursa kripto memberikan nilai positif sebab aset futures derivatif mulai bisa diperdagangkan di Indonesia.
“Jadi nanti kalau memang derivatif bisa diperdagangkan artinya kita tidak ketinggalan dari yang di luar negeri,” katanya dalam peluncuran Marketplace NFT Nusa Finance di Sarinah Jakarta, Kamis (6/7/2023).
William menuturkan aset derivatif tidak bisa dijalankan di Indonesia akibat kerangka peraturan yang mewajibkan futures (kontrak berjangka) harus melalui bursa kripto.
“Ketika bursa kripto ada kita baru bisa ikutan seperti yang ada di luar negeri FTX, positifnya itu,” tukasnya. (Kompas.com/Tribunnews.com)