Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Kondisi ekonomi global yang terus bergejolak perlahan membuat pamor Non Fungible Token (NFT) kian memudar hingga 96 persen token NFT mengalami kepunahan digital atau dianggap mati.
Hal ini diungkap langsung oleh platform pasar kripto, NFTevening. Dalam laporan terbarunya analis NFTevening menyebut dari 5.000 koleksi NFT dan 5 juta transaksi sebanyak 96 persen NFT dianggap mati.
Ini lantaran NFT tersebut tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kelayakan pasar karena tingkat ketidakuntungan sangat rendah sehingga volume perdagangan NFT tidak mengalami pergerakan penjualan dalam waktu minimal 7 hari.
Baca juga: Nilai Transaksi Kripto di Indonesia Mencapai Rp344 Triliun, Melonjak 353 Persen
“Sebanyak 96 persen NFT dianggap mati yang berarti tidak ada volume perdagangan, terjual dalam waktu minimal 7 hari, dan hampir tidak ada di platform media sosial seperti X,” jelas analais NFTevening dikutip dari Benzinga.
“Ini menunjukkan bahwa volume perdagangan, penjualan terkini, dan aktivitas media sosial, menemukan bahwa sebagian besar NFT tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kelayakan pasar,” imbuhnya.
Lebih jauh, laporan tersebut menyoroti beban keuangan yang dihadapi oleh investor NFT, dengan lebih dari 43 persen pemegang saham dalam kondisi rugi atas investasi mereka.
Meskipun beberapa koleksi NFT berhasil mempertahankan profitabilitas. Namun umur rata-rata NFT sekarang hanya 1,14 tahun, jauh lebih pendek daripada proyek aset kripto tradisional.
Keberadaannya yang singkat ini menunjukkan perputaran yang cepat dan potensi kurangnya nilai jangka panjang dalam banyak proyek NFT. Kondisi tersebut mendorong pemilik NFT untuk melakukan jual massal, hingga NFT mengalami kejatuhan harga.
Adapun redupnya pasar NFT mulai terjadi di tahun 2023, lantaran dengan hampir sepertiga dari semua NFT yang “mati” menemui ajalnya dalam 12 bulan tersebut. Membuat pemegang NFT Pudgy Penguins menghadapi kerugian sebesar 97 persen, menjadikannya koleksi yang paling tidak menguntungkan yang dianalisis dalam studi tersebut.
Baca juga: NFT Ditinggal Kabur 95 Persen Investor, Volume Perdagangan Ambles Sepanjang 2023
Mengenang Popularitas BFT
NFT muncul sebagai evolusi dari teknologi Colored Coins dalam ekosistem blockchain pada 2012 silam. Awalnya, Colored Coins digunakan untuk memverifikasi kepemilikan aset seperti saham dan surat berharga lainnya.
Sejak saat itu popularitas token digital melesat naik, bahkan ada lebih dari 2,5 juta dompet kripto di dunia yang memegang atau memiliki NFT selama 2021. Menurut penelitian Nonfungible.com, angka tersebut naik dari 75.000 menjadi 89.000 pengguna.
Kejayaan NFT berlanjut hingga awal 2023 bahkan di saat itu NFT dijual dengan harga yang fantastis berada di kisaran 1,3 juta dolar AS atau sekitar Rp 20 miliar untuk satu token.
Setidaknya ada beberapa artis dan penyanyi internasional yang kepincut dengan token bergambar kera ini diantaranya seperti Jimmy Fallon, Steph Curry, Madonna, Eminem, Gwyneth Paltrow, Snoop Dogg hingga Justin Bieber.
Sayangnya popularitas NFT kian meredup ditengah melesatnya isu resesi yang mengancam keamanan pasar global, menurut catatan dari situs komunitas analis ekosistem blockchain, Dune Analytics penurunan volume NFT mulai terlihat sejak aset digital mengalami bear market di awal Maret 2023.
Setelah NFT kehilangan pamor, sejumlah aset token digital perlahan mulai di obral dengan harga murah. Seperti koleksi Bored Ape Yacht Club merosot ke titik terendah dalam sejarah, yakni dibanderol dengan harga di bawah 30 ETH.
Kondisi ini yang kemudian membuat koleksi NFT yang tidak memiliki fungsionalitas di dunia nyata. Hingga akhirnya sebanyak 92,57 persen investor mulai berbondong – bondong kabur meninggalkan pasar NFT.