Bebani Masyarakat
Dalam pernyataan persnya, PERDIPPI juga menolak materi Kepmen Perindustrian Nomor 25 Tahun 2018 karen, pada pokoknya memberlakukan SNI Wajib Pelumas terhadap berbagai pelumas kendaraan sejatinya telah dilakukan dalam proses uji untuk mendapatkan NPT.
Artinya, jika hal itu dilakukan, hanya akan sia-sia karena pada ketentuan SNI Pelumas tersebut terdapat komponen uji unjuk kerja yang biayanya sangat mahal.
“Kalau dipaksakan, akan menjadi beban dan tidak terjangkau bagi perusahaan pelumas. Pada akhirnya beban tersebut juga dibebankan kepada konsumen, dan dampaknya akan memberatkan perekonomian nasional,” ungkap Paul.
Selain itu, perusahaan-perusahaan pelumas skala kecil yang hanya melayani kebutuhan spesifikasi khusus mesin akan gulung tikar karena tidak sanggup menanggung biaya pegujian. Sebab, biaya pengujian bisa mencapai US$ 1 juta per sampel.
Jika itu terjadi, bukan hanya industri saja yang menanggung akibatnya, tetapi juga para pengguna produk pelumas. Karena, produk pelumas merupakan produk aplikasi dinamis yang berkaitan langsung dengan operasional dan kelangsungan mesin industri, otomotif, marine, penerbangan, dan sebagainya.
Jika operasional para pengguna pelumas itu terhenti atau terganggu, maka produktifitas nasional juga akan terganggu. Turun atau hilangnya produktifitas berarti roda perekonomian nasional terhambat, karena memiliki dampak ikutan (multiflier effect) yang besar.
Pada akhirnya, bangsa dan negeri juga ikut menanggung kerugian. Oleh karena itulah, PERDIPPI meminta agar Kepmen Perindustrian Nomor 25 Tahun 2018 itu diuji materi, atau dibatalkan.
PERDIPPI juga mempertanyakan tatacara akeditasi LSPro, khususnya LSPro bidang pelumas sebagai lembaga yang akan melakukan sertifikasi. Sebab, lembaga ini tidak memiliki fasilitas dan kemampuan untuk menguji aspek kimia/fisika terhadap 14 parameter.
“Apalagi kemampuan menguji unjuk kerja,” tandas Paul Toar.