Laporan Wartawan Tribunnews, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Konflik Rusia dengan Ukraina dikhawatirkan juga akan berdampak negatif pada penjualan kendaraan roda empat di pasar dunia.
Penjualan mobil baru di 2022 diperkirakan akan terpangkas 400.000 unit di 202.
Konsultan industri otomotif JD Power dan LMC Automotive mengatakan adanya pemangkasan tersebut, membuat produksi mobil menurun sekitar 85,8 juta unit.
Dilansir dari Reuters, amblasnya penjualan mobil secara global selain disebabkan adanya kekurangan pasokan semikonduktor global. Ternyata juga diakibatkan oleh efek invasi Rusia ke Ukraina.
Volkswagen sempat mandek produksi selama beberapa hari, lantaran adanya penundaan pada pengiriman suku cadang yang dibuat dari pabrik Ukraina.
Hal serupa juga dialami Renault, produsen kendaraan asal Prancis. Pihaknya turut menangguhkan pengoperasian pada pabrik perakitan mobilnya di Rusia. Lantaran logistik dan bahan baku untuk otomotif mengalami masalah penundaan transmisi.
Baca juga: Mercedes-Benz Indonesia Bakal Boyong Kendaraan Listrik pada Semester 2 Tahun Ini
“Gangguan terutama disebabkan oleh kontrol perbatasan yang lebih ketat di negara-negara transit dan kebutuhan yang dipaksakan untuk mengubah sejumlah rute logistik yang sudah ada ” jelas suplier otomotif asal Rusia, tanpa menyebut nama negara mana pun.
Baca juga: Roda Patah, Evakuasi Bus Harapan Jaya Makan Waktu 12 Jam, Mesin Jatuh Nancap ke Tanah
Sebagai informasi Rusia dan Ukraina merupakan pemasok bahan baku industri otomotif terbesar di dunia.
Mark Wakefield, co-leader firma konsultan praktik otomotif global AlixPartners menyatakan, Rusia sejauh ini diklaim sukses memproduksi paladium dunia sebanyak 38 persen.
Baca juga: Gagah Banget, Bus Terbaru Indorent Bertipe Double Decker degan Sasis Volvo B11R
Sementara Ukraina diketahui menjadi penyumbang suplai komoditi logam alumunium, platinum, dan rhodium bagi industri otomotif dunia.
Para produsen mobil memprediksi jika nantinya konflik antara Rusia dan Ukraina yang terus berlanjut, maka akan membuat lonjakan tajam pada harga bahan baku pembuatan mobil seperti logam paladium, platinum, dan rhodium.
Hal inilah yang kemudian membuat para pabrikan terpaksa mengurangi produksi demi menekan biaya pengeluaran untuk produksi. Mereka berharap konflik kedua negara tersebut bisa cepat segera mereda, sehingga produksi otomotif global dapat pulih dan berjalan seperti semula.