TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) bersama Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mengadakan diskusi kelompok terfokus (FGD) mengenai subsidi kendaraan listrik.
Acara tersebut diadakan untuk membahas mekanisme subsidi serta insentif dan disinsentif untuk mendukung pengembangan dan implementasi kendaraan listrik di Indonesia.
Ketua Umum MTI, Damantoro mengingatkan bahwa subsidi BBM sudah menembus angka Rp 500 triliun, jauh melampaui anggaran pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur kesejahteraan masyarakat.
Sementara di sisi lain, Indonesia sudah berkomitmen kepada dunia untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat yang mana strategi utamanya adalah transisi energi dari BBM ke listrik melalui konversi teknologi kendaraan dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik (electric Vehicle-EV).
Baca juga: Populasi Kendaraan Listrik Berbasis Baterai Mencapai 55.988 Unit di Maret 2023
Menurutnya, transisi dari energi BBM yang saat ini masih disubsidi ratusan triliun merupakan pilihan kebijakan yang tidak mudah dan di masa depan pemerintah harus punya cara untuk merekonsiliasikannya.
"Jangan sampai terulang lagi, pengembangan EV yang sangat penting untuk transisi energi menjadi gagal karena kebijakan pemerintah yang tidak holistic dan kontinyu," kata Damantoro, Minggu (9/4/2023).
Rekonsiliasi kebijakan transisi dan subsidi energi akan menjadi semakin penting karena triliunan subsidi BBM sektor transportasi selama puluhan tahun telah menciptakan affordabilitas harga BBM yang semu, penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan, menyebabkan kemacetan, polusi udara, dan menggerus pajak rakyat.
Damantoro menilai , kebijakan subsidi EV tidak terlepas dari scenario net zero emission yang mentargetkan penjualan sepeda motor di tahun 2030 100 persen nya sudah elektrik.
Untuk itu perlu disrupsi bagi pasar otomotif yang tiap tahunnya menjual 1 juta mobil dan 7 juta sepeda motor BBM.
Seperti disampaikan Menteri Perindustrian, subsidi ini untuk memberikan sinyal positik kepada pabrikan EV untuk mau mengambil keputusan investasi jangka panjang sebesar yang nilainya puluhan triliun rupiah tanpa mendorong kemacetan baru karena konsumsi berlebihan.
"Untuk itu MTI mengingatkan pemerintah dapat merumuskan kebijakan subsidi secara cermat untuk responsif kritik yang mengatakan subsidi EV bakal salah sasaran dan mencederai keadilan masyarakat atau subsidi yang malah mendorong pembelian kendaraan baru yang akhirnya memperburuk kemacetan," paparnya.
Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Senda Hurmuzan Kanam menjelaskan, penggunaan kendaraan listrik bermanfaat untuk mendukung ketahanan energi dimana impor BBM sudah mencapai 800 ribu barrel per hari, sementara terdapat oversupply listrik di grid Jamali,
"Pemerintah dapat mengurangi kehilangan devisa karena impor dan mengurangi subsidi Rp 5000/liter pertalite, berapa keuntungan yang dapat dikurangi dari subsidi tersebut," ucapnya.
Menurutnya, dari sisi lingkungan kendaraan listrik dapat mengurangi emisi dan pencemaran suara.
"Kendaraan listrik juga dapat menggerakkan kegiatan UMKM dengan munculnya bengkel-bengkel kendaraan listrik juga industri komponen local seperti baterai dan kontroler, secara nasional juga dapat meningkatkan ekonomi dari penggunaan nikel milik Indonesia dalam pengembangan industry baterai,” ungkap Senda.
Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad ‘Puput‘ Safrudin dalam FGD tersebut, menjelaskan kembali opsi mekanisme insentif dan disinsentif berdasarkan kinerja penurunan emisi karbon kendaraan yang diusulkan KPBB sejak 2013 saat pemerintah menginisiasi insentif fiscal kendaraan rendah Karbon (LCEV, Low Carbon Emission Vehicle) pada pembahasan draft PP No 41/2013.
Pada skema ini, pertama pemerintah harus menetapkan standard kendaraan bermotor (grCO2/km) yang harus dipatuhi oleh seluruh produsen kendaraan bermotor, apapun teknologinya (BEV, HEV, PHEV, FCEV, ICE, HICEV)1 sehingga tidak terjadi diskriminasi teknologi.
Baca juga: Berpotensi Terima Subsidi, Motor Listrik Alva Klaim Berhasil Tingkatkan TKDN Hingga 44 Persen
Kedua, pemerintah menetapkan bahwa kendaraan yang memenuhi standard karbon, maka berhak atas insentif fiscal, namun sebaliknya kendaraan yang tidak memenuhi standard karbon harus rela dipungut cukai karbon yang besarannya tergantung pada level karbon yang diemisikan oleh kendaraan tersebut.
“Sayangnya pemerintah pragmatis dengan hanya menetapkan insentif untuk KBLBB2 yang kinerja emisi karbonnya terbaik saat ini, sehingga terbit kebijakan insentif kendaraan listrik, sementara kendaraan yang emisi karbonnya tinggi tidak dikenakan sanksi. Tentu saja tidak salah kebijakan tersebut, namun tidak paripurna dan memberatkan APBN serta terancam keberlanjutannya terkait sumber pendanaan," Ahmad Safrudin.
Ahmad menilai penggunaan terminologi Subsidi Kendaraan Listrik juga harus diralat, karena menimbulkan kesalah-fahaman yang dapat berujung pada distrust bahkan civil disobedience terhadap pemerintah yang terkesan memberikan subsidi kepada orang kaya.
Faktanya hal itu bukanlah subsidi, melainkan hanya potongan pajak kendaraan bermotor. Sepeda motor listrik yang ditetapkan berhak atas insentif Rp 7 juta/unit misalnya, sesungguhnya hanyalah memperoleh potongan pajak sebesar 35% dari total 43% pajak yang seharusnya dibayar (sekitar Rp 13 juta/unit).
"Sehingga masih tersisa 8% pajak yang tetap harus dibayar oleh pembeli sepeda motor listrik, yaitu sekitar Rp 6 juta/unit," ujarnya.