TRIBUNNEWS.COM – Pada Pemilu 2009 lalu, H Hery Prasetyo nekat maju sebagai caleg. Ia turun tanpa pengalaman, juga tanpa peta. Ia menggambarkan situasi saat itu yang penting nembak. Nggak tahu sasarannya kena apa tidak.
Bagi Caleg Partai Demokrat H Hery Prasetyo, Pemilu 2014 ini merupakan pengalaman pertamanya menggunakan jasa surveyor. “Saya banyak terinspirasi survei pilkada. Terus banyak juga saran dari teman-teman, dan setelah saya coba (pakai jasa survei), kok rasanya memang lebih enak, semua gerakan jadi terukur,” kata Hery.
Hery yang kini menjadi anggota DPRD Jatim ini menggunakan jasa konsultan politik sejak September 2013. Namanya konsultan, layanannya tentu tidak berhenti pada survei. Masih ada paket konsultasi pemanfaatan hasil survei hingga hari H pemilihan. Mulai dari konsultasi cara mendongkrak elektabilitas, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk gerakan dan kampanye yang mesti dilakukan. Ada juga konsultasi maintenance (pemeliharaan di basis suara) dan lain-lain.
Survei dilakukan rutin setiap bulan. “Saya merasa semua gerakan dan penggalangan bisa terlihat. Mana yang ada efeknya dan mana yang tidak. Mana yang perlu tetap digarap, meskipun di situ elektabilitasnya rendah, dan mana yang tidak perlu disentuh karena daerah itu sudah dicengkeram teman,” katanya.
Ia lalu mencontohkan, saat empat bulan lalu banyak melakukan sambang desa di kecamatan-kecamatan Lumjang Utara. “Berdasar survei, elektabilitas saya di sini rendah. Tapi alhamdulillah, sekarang naik signifikan,” katanya. Daerah pemilihan (dapil) Hery ini sama dengan pemilu 2009, yaitu Jatim IV yang terdiri atas Lumajang dan Jember.
Heri lalu membandingkan dengan pola penggalangan konvensional atau tanpa survei pada Pemilu 2009 lalu. “Saat itu, ibarat orang nembak, tembak saja semua sasaran. Tidak tahu, apakah tembakan itu dapat (suara) atau tidak. Tapi untungnya waktu itu tembakannya kena (dapat suara),” katanya sembari tertawa.
Hery mengaku biaya yang dikeluarkan untuk konsultan politik tidak terlalu mahal. “Nilainya di bawah seratus (Rp 100 juta). Ini tidak mahal untuk ukuran survei yang dilakukan setiap bulan, selama enam bulan, mulai September 2013 dan terakhir Maret 2014. Aprilnya kan sudah Pemilu,” kata Hery.
Ali Saiboo, caleg Partai Golkar di dapil yang sama tidak mau kalah. Caleg dengan nomor urut ikut memanfaatkan tim surveyor. Berbeda dengan Herry, bapak empat anak ini memilih surveyor dari kalangan mahasiswa. Ia tidak menggunakan jasa konsultan sekelas LSI atau Pusdeham, lantaran masalah biaya. Menurutnya, harga yang dipatok lembaga tersebut sulit untuk dijangkaunya. Ali mengaku hanya mengeluarkan dana Rp 20 juta untuk sekali survei.
Ali juga mendapatkan rekomendasi terkait fenomena dan isu yang terekam dari hasil polling. “Harganya murah dan saya pikir hasilnya tidak akan berbeda dengan lembaga survei yang lebih mapan. Saya pikir metode surveinya juga tidak berbeda,” ujarnya yakin.
Kolega Ali Saiboo di Partai Golkar, Sahat T Simanjuntak juga menyempurnakan penggalangan suara dengan memanfaatkan jasa surveyor. Langkah ini dilakukan anggota DPRD tersebut sejak akhir 2012 lalu dan hasil surveinya diterapkannya pada akhir awal triwulan kedua tahun 2013.
“Hasil survei itu gambar atau peta. Lha yang menentukan bisa jadi (anggota DPR/DPRD) atau tidak itu ya gerakan calegnya. Ini kira-kira mirip dengan istilah di media; kami menyampaikan berita, kesimpulan terserah anda,” tutur Sahat enteng.(aji bramastra/suyanto)