Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan tidak bisa membuat aturan mengenai tenggat waktu pembacaan sidang putusan pengujian undang-undang (PUU). Hakim konstitusi, Harjono, mengatakan aturan tersebut justru akan terlihat kaku dan MK menjadi tidak fleksibel.
Harjono pun mencontohkan mengenai gugatan pasangan calon presiden dan wakil presiden Megawati-Prabowo dan JK-Win pada Pemilu 2009 yang mengajukan gugatan pelaksaan pemilihan presiden pada Rabu, 8 Juli 2009 agar MK mengabulkan permintaan agar KTP dapat digunakan sebagai bukti pemilih, bagi para pemilih yang tidak terdaftar.
"Anda kan tahu gimana kita dulu memutus (perkara) KTP. Hari itu diperiksa pemeriksaan pendahuluan, lalu sore dibacakan (putusan) dalam sidang pleno," ujar Harjono saat menerima wartawan di ruang kerjanya, Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Harjono mengatakan jika saat itu Mahkamah terikat dengan peraturan mengenai ketentuan maka pemilih yang tidak terdaftar tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya. Pemilihan umum presiden 2009 sendiri dilaksanakan pada 8 Juli 2009 sementara gugatan tersebut diputuskan 6 Juli 2009.
"Kalau itu menurut prosedur, nanti dibacakan. Sidang tak membutuhkan nanti, karena Pemilu presidennya tinggal beberapa hari. Ya peraturan itu seringkali juga bagus, tapi seringkali juga menghambat, karena persoalan hukum seringkali tidak bisa ditunda sampai menunggu ketentuan formilnya," tambahnya.
Diberitakan, pemohon uji materi UU Pilpres Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak yang direpresentasikan Effendi Gazali, mempertanyakan lambatnya pembacaan sidang putusan oleh MK. Putusannya tidak dibacakan selama sepuluh bulan dengan alasan MK menggunakan aspek kehati-hatian.