TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengaturan dana kampanye yang dibuat Komisi Pemilihan Umum untuk peserta Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 harus diapresiasi, kendati masih ada pengabaian prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto, menilai Peraturan KPU No 17 tahun 2013 tentang dana kampanye menyisakan sejumlah kelemahan, seperti daftar penyumbang yang gampang dimanipulasi, rekening dana kampanye tidak digunakan.
Seharusnya, prinsip transparansi mengharuskan parpol dan calon anggota legislatif terbuka atas semua proses pengelolaan dana kampanye. Parpol dan Caleg wajib membuka sejumlah informasi seperti daftar penyumbang, mencatat semua pendapatan dan belanja kampanye.
"Tujuannya untuk menguji prinsip akuntabilitas, memastikan tanggungjawab parpol dan caleg dalam mendapatkan dan membelanjakan dana kampanye secara rasional, sesuai etika dan tidak melanggar aturan," ujar Didik di KPU, Jakarta, Selasa (12/2/2014).
Ia menyayangkan, dalam praktiknya, pengelolaan dan pelaporan dana kampanye selama ini tidak berdampak pada peningkatan kualitas pemilu. Tiap kali pemilu, jumlah dana kampanye selalu meningkat. Ini mengondisikan politisi berburu dana kampanye lewat banyak cara.
Wajar jika tidak sedikit dari mereka banyak terjerat kasus-kasus korupsi karena setelah parpol menang pemilu, dan anggota legislatif dan pejabat eksekutif terpilih secara langsung atau tidak langsung harus menghamba kepada pemilik modal.
"Maka, berbicara dana kampanye Parpol untuk Pemilu legistlatif, Pemilu eksekutif itu basa-basi (Pemilu) saja," terang Didik. Pasalnya, dalam UU No 8 Tahun 2012 dan UU No 48 Tahun 2008, dari sisi pendapatan atau penerimaan terdapat beberapa masalah pengaturan dana kampanye.
Didik menerangkan, misalnya, soal pembatasan sumbangan dana kampanye dari perseorangan dan perusahaan tidak efektif. Karena sumbangan dari partai, caleg, dan pejabat eksekutif, tidak dibatasi, sehingga banyak penyumbang perseorangan dan perusahaan menitipkan uang sumbangan melalui jalur ini.
Didik Khawatir, tidak adanya dua prinsip transparansi dan akuntabilitas seperti diterangkan di atas, maka dana kampanye parpol yang berasal dari sumbangan 'gelap' bisa tetap lolos dan menimbulkan kerugian calon yang miskin dana kampanye dan masyarakat secara umum.
Selain itu, sambung Didik, masalah juta muncul jika menilik aspek belanja, pengaturan dana kampanye yang ada. Setidaknya, contoh Didik, pembatasan belanja kampanye membuat Parpol dan caleg menggalang dana kampanye dengan menghalalkan segala cara.
"Mereka berkeras melakukan kampanye sebesar mungkin karena dari pemilu ke pemilu terlihat parpol dan calon yang kampanyenya paling masif dan intensif terbukti berhasil meraih suara dan kursi lebih banyak," ucapnya.