TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie, setuju dengan moratorium iklan kampanye dan politik di media televisi atau lembaga penyiaran yang memakai frekuensi publik.
Saat ini lembaga penyiaran publik menyiarkan iklan kampanye atau politik padahal melanggar ketentuan jadwal.
"Mestinya memang begitu. Saya setuju kalau moratorium iklan kampanye dan politik itu dilaksanakan. KPU, Bawaslu harus tegas. Jangan media televisi yang frekuensinya milik publik dimanfaatkan peserta pemilu yang memiliki uang. Saya rasa moratorium yang dilakukan DPR boleh juga," ujar Jimly di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (26/2/2014).
Hasil rapat dengar pendapat Selasa (25/2/2014) malam bersama KPU, Bawaslu, KPI dan KIP, Komisi I DPR RI mendukung Tim Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaraan dan Iklan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tim Gugus Tugas diisi KPU, Bawaslu, KPI dan KIP.
"Komisi I DPR RI mendesak Gugus Tugas untuk segera melakukan moratorium semua iklan politik dan kampanye yang dilakukan peserta pemilu, sebelum dimulainya masa kampanye terbuka 16 Maret sampai 5 April 2014," ujar Wakil Ketua Komisi I, Ramadhan Pohan, saat bacakan kesimpulan rapat dengar pendapat.
Komisi I DPR RI juga meminta Tim Gugus Tugas mensosialisasikan kesepakatan bersama mereka kepada partai politik peserta pemilu dan lembaga penyiaran guna memastikan berjalannya aturan main yang sudah dibuat untuk memenuhi prinsip keadilan dan akses yang sama bagi peserta pemilu.
Hadir dalam rapat dengar pendapat di Komisi I antara lain Ketua KPI Judhariksawan, Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono, anggota Bawaslu, Daniel Zuchron, dan Ketua KPU, Husni Kamil Manik.
Dalam rapat, mereka melaporkan langkah-langkah yang sudah diambil sesuai wewenang untuk menindaklanjuti pelanggaran.
Anggota Komisi I, Max Sopacua, sempat mempersoalkan KPI yang sudah menjatuhkan sanksi kepada lembaga penyiaran televisi karena menayangkan iklan kampanye dan politik padahal belum waktunya.
Setelah ditegur, televisi tersebut tetap mengulangi pelanggarannya. Sehingga sanksi KPI tidak membuat efek jera.
Max mengaku menyayangkan sanksi KPI tidak begitu bergigi karena kewenangannya terbatas. Upaya mereka yang semula bisa membekukan dan menghentikan siaran, kini diambil alih oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Wajar jika KPI hanya bekerja sesuai tugas, pokok dan fungsi yang dimilikinya saat ini.
Kolega Max di Komisi I, TB Hasanudin, berpandangan sama, menganggap, KPI sulit masuk lebih dalam memberi sanksi ke lembaga penyiaran, meski mereka melakukan kesalahan berulang.
Ia mengusulkan KPI dikuatkan. Komisi I berjanji akan membuat MoU antara Kemenkominfo dan KPI agar bisa membuat keputusan untuk penyiaran.
Anggota Bawaslu, Daniel Zuchron, memastikan SKB Gugus Tugas ini akan disebar ke pengawas pemilu sampai tingkat bawah.
Persoalannya, penggunaan iklan kampanye di media penyiaran tidak saja dilakukan di skala nasional, tapi juga ada media penyiaran di tingkat desa atau komunitas.
"Kami dan teman-teman KPI soal peristiwa hukum lembaga penyiaran yang ada berharap masukan dari teman-teman KPI. Kita pastikan adanya surat edaran SKB akan sampai ke bawah karena kita yakin bahwa televisi tidak hanya nasional saja. Di daerah juga ada. Bawaslu, polisi dan jaksa juga akan bekerja rutin di Gakumdu," terang Daniel.
Ketua KPU, Husni Kamil Manik, menambahkan, pihaknya mengakui banyak celah dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD.
Banyaknya ruang kosong dalam undang-undang, membuat KPU kesulitan menyusun Peraturan KPU untuk menutup celah kosong yang kerap digunakan peserta pemilu melanggar.