TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin, mengatakan banyak sekali peserta Pemilu 2014 baik partai politik dan calon anggota DPD RI terlambat atau sama sekali tidak melaporkan dana kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setiap tingkatan.
Repotnya, menurut Said, KPU di masing-masing tempat berbeda menyikapi penyerahan laporan dana kampanye dari peserta pemilu, khususnya yang sudah melewati tenggat waktu 2 Maret pukul 18.00 waktu setempat. Setidaknya banyak varian dari respon KPU di daerah.
Said tak menampik, persoalan dana kampanye peserta pemilu sangat pemilik pembahasannya. Dan sejumlah ruang kosong atau celah bisa diperdebatkan dari banyak sisi. Bukan saja Peraturan KPU soal laporan dana kampanye, tapi juga dari segi UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif.
"Ada KPU yang langsung mencoret mereka yang terlambat. Ada KPU yang sesuai perosedur memilih mengikuti instruksi KPU pusat. Selain itu, ada KPU yang menolak menerima laporan bahkan ada yang tetap menerima meski terlambat," ujar Said dalam diskusi 'Dana Kampanye dan Pembatalan Peserta Pemilu' di Galeri Cafe, Cikini, Jakarta, Minggu (9/3/2014).
Menurut Said, munculnya banyak varian yang terjadi di banyak KPU daerah dalam menyikapi peserta pemilu yang terlambat melaporkan dana kampanye, harus diperhatikan oleh KPU pusat. Karena organisasi KPU bersifat hirarkis dan tidak bisa ambil keputusan sendiri.
Said menambahkan, seharusnya KPU tidak perlu lagi menimang-nimang untuk menentukan sanksi berupa diskualifikasi bagi peserta Pemilu 2014 yang terlambat melaporkan dana kampanye. Karena, dalam undang-undang jelas konsekuensi hukum terkait penyerahan laporan 2 Maret.
KPU, kata Said bisa langsung memutuskan untuk menetapkan peserta pemilu yang tidak taat pada peraturan perundang-undangan langsung didiskualifikasi. Mereka yang tidak setuju dengan keputusan KPU, bisa melanjutkan proses hukum lewat sengketa di Bawaslu.
Lagi pula, konsekuensi hukum untuk mendiskualifikasi peserta pemilu karena tak patuh bukan hal baru. Setidaknya, pada Pemilu 2009, KPU saat itu sudah berani mengeluarkan keputusan untuk mendiskualifikasi peserta pemilu yang masuk kategori melanggar peraturan.
"Menurut saya, KPU tidak perlu berdebat. Urusan KPU mengikuti aturan main undang-undang. KPU sekarang ada bagusnya dari yang dulu. Kalau KPU mencoret, mereka bisa memperjuangkan keadilan ke Bawaslu dengan permohonan sengketa pemilu," ujarnya.
Komisioner KPU, Ida Budhiati mengaku, mekanisme pemberian sanksi berupa diskualifikasi kepada peserta pemilu memang berada di tangan KPU pusat. Namun, KPU ingin mengkaji secara administratif lebih dulu apa alasan yang membuat mereka terlambat.
"Kalau terlambat melaporkan, menurut lembaga hukum, KPU di dalam mengambil keputusan harus memerhatikan seluruh aspek. Apalagi isunya pencabutan hak peserta pemilu yang dijamin konstitusi," terang Ida. Ia juga menegaskan akan mengkoreksi respon KPU daerah yang berbeda menanggapi laporan dana kampanye.
Catatan yang dikumpulkan Sigma dari berbagai sumber, peserta pemilu banyak tak patuh dalam melaporkan dana kampanye ke KPU. Antara lain Sumatera Utara (dua Calon DPD), Kabupaten Padang Lawas Utara (dua parpol), Provinsi Sumatera Barat (satu calon DPD), Propinsi Jambi (satu parpol), Kabupaten Lingga Kepulauan Riau (satu parpol).
Propinsi Banten (dua parpol dan satu calon DPD), Jawa Tengah (satu calon DPD, Kabupaten Purworejo (satu parpol), Kabupaten Tabanan, Bali (satu parpol), Provinsi NTT (sekurangnya ada enam calon DPD), Kabupaten Timor tengah Selatan, NTT (satu parpol), Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (dua parpol), Kabupaten Ngada, NTT (dua parpol).
Provinsi Sulawesi Tengah (dua DPD, Kabupaten Morowali (satu parpol), Kabupaten Donggala, Sulteng (satu parpol), Provinsi Sulawesi Tenggara (enam calon DPD), Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara (satu parpol), Kabupaten Mamuju, Sulbar (satu parpol), Provinsi Kalimanten Barat (satu calon DPD).