TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menimbulkan pro dan kontra. Belakangan tuntutan Jokowi mundur sebagai gubernur semakin kencang disuarakan.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mengatakan jika Jokowi maju sebagai capres harus mengikuti aturan yaitu cuti atau non aktif dari pekerjaan, namun etikanya harus mundur.
"Pejabat yang mencalonkan diri sebagai capres atau caleg etikanya harus mundur. Karena kalau mereka tidak mundur itu sama saja dengan memperjudikan jabatannya, tidak mau ambil risiko. Kalau bisa lolos baru mundur, tapi kalau tidak lolos jabatan dilanjutkan lagi," ungkapnya.
Arbi Sanit sangat tidak setuju jika ada pejabat yang dicalonkan menjadi presiden atau caleg mengambil cuti.
“Cuti itu menurut saya adalah peraturan yang dibuat pejabat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Ini adalah permainan dari para elite politik, sehingga mereka bisa mengejar kekuasaan yang lebih tinggi,” papar Arbi Sanit.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina, Hendry Satrio, mengatakan dengan bersedianya Jokowi dicalonkan sebagai presiden, itu artinya Jokowi sudah memilih untuk meninggalkan Jakarta.
“Karena Jokowi sudah memutuskan itu, dan jika masih mencintai Jakarta, sebaiknya Jokowi mundur sebagai gubernur dari sekarang saja, sehingga program kerja, kepemimpinan dan pembangunan Jakarta menjadi lebih efektif dan bisa dilanjutkan oleh wakil gubernur," ujarnya.