TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dianggap masih mengabaikan hak pilih para pengidap gangguan jiwa. Kenyataannya hingga kini sebagian besar para pengidap gangguan jiwa selalu dicoret dari daftar pemilih, termasuk dalam pemilihan legislatif (Pileg) 9 April.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, kepada wartawan di Bakkoel Coffee, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2014), mengatakan bahwa dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum, tidak dijelaskan soal pelarangan penyandang gangguan jiwa untuk ikut pemilu.
"Hak pengidap gangguan jiwa dihilangkan, dan hal itu masih terjadi hingga kini," katanya.
Ia menyebutkan bahwa sesuai dengan pasal 29 Undang-undang nomor 19 tahun 2011, tentang pengesahan Convention on the Rights of Persons With Disabilities (konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas) disebutkan hak-hak para penyandang harus dipenuhi negara, termasuk hak untuk memilih.
Menurut Yeni tingkat gangguan jiwa seseorang bervariasi, mulai dari gangguan jiwa ringan hingga gangguan jiwa berat yang sudah tidak bisa diajak berkordinasi sama sekali. Ia mengatakan walaupun tidak bisa diajak berkordinasi, tetap hal tersebut bukan menjadi alasan untuk menghilangkan hak seseorang.
"Apa sih yang ditakutkan dari pengidap gangguan jiwa ? Apa mereka tidak bisa diajak kordinasi ? Apa mereka tidak mau menggunakan hak pilihnya ? Harusnya mereka tetap diberi kesempatan," ujarnya.
Yeni dalam kesempatan itu mengatakan bahwa 0,46 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 1.300.000 orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa, dan sebagian dari mereka sudah cukup umur untuk memilih.
"Sampai saat ini kita terus mensosialisasikan kepada para pengidap gangguan jiwa," ujarnya.