TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi kekerasan berupa penganiayaan diterima Pengawas Pemilu Lapangan. Kali ini, korbannya adalah seorang Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di Makassar, Sulawesi Selatan dan seorang lagi di Jambi.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Nasrullah, mengaku sudah mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus penganiayaan yang menimpa petugas pengawas di lapangan ketika bekerja.
Menurutnya, aksi kekerasan dalam bentuk apapun yang menimpa pengawas jelas tidak bisa dibenarkan. Aksi pelanggaran serius terhadap aparat pengawas pemilu merupakan ancaman terhadap pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia.
"Desakan agar polisi menuntaskan kasus ini dalam rangka menjamin rasa aman penyelenggara Pemilu dan masyarakat luas," ujar Nasrullah kepada wartawan di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (10/4/2014).
Nasrullah mengatakan, bukan saja petugas pengawas yang rentan mendapat aksi tindak kekerasan dan intimidasi. Penyelenggara pemilu lainnya yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah juga rawan menimpa hal serupa.
Ihwal penganiayaan terhadap Ketua Panwaslu Kota Makassar bermula ketika meminta petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) agar memberikan formulir C1 (hasil penghitungan suara) kepada PPL setempat dan saksi partai politik.
Namun pihak KPPS menolak memberikan formulir C1. Akhirnya, PPL mengadu kepada Ketua Panwascam, sehingga ia mendatangi petugas KPPS. Ketika Panwascam turun ke tempat pemungutan suara (TPS), KPPS bersikeras menolak memberi formulir C1.
Meski begitu, ketika memberikan penjelasan, Ketua Panwaslu mendapat perlakuan kasar oleh petugas KPPS bersama warga. Akibat perlakuan tersebut, pengawas mengalami luka cukup parah pada Rabu (9/4/2014) siang.
Sementara di Jambi, anggota PPL Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muarojambi ditembak pada Minggu 6 April di rumahnya. Belum diketahui alasan pelaku menembak petugas pengawas saat itu.