TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Profesor Riset Herb Feith untuk Studi Indonesia dari Universitas Monash, Australia, Greg Barton, meminta Megawati untuk lebih menarik diri dan memberikan ruang lebih besar bagi Joko Widodo untuk tampil di depan publik sebagai calon presiden.
Hal itu disampaikan Greg saat berkunjung ke kantor redaksi harian Kompas, Kamis (10/4/2014). Menurut Greg, kurang maksimalnya perolehan suara PDI-P menunjukkan kinerja mesin partai yang tidak optimal. Ia mengatakan, "Jokowi Effect" tertutupi "Princess Effect" berupa pencitraan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani dalam sejumlah kampanye publik.
Seharusnya, kata Greg, keberadaan Jokowi bisa menjadi momentum untuk melejitkan perolehan suara bagi PDI-P. Namun, yang terjadi kemudian, momentum tersebut disia-siakan dengan membuat pengumuman pencapresan Jokowi yang terlambat hingga tidak memanfaatkan figurnya dalam iklan kampanye, justru Megawati Soekarnoputri dan anaknya, Puan Maharani.
"Peluang dari ’Jokowi Effect’ justru diredam oleh ’Princess Effect’, di mana masyarakat tidak terlalu bersimpati kepada Ibu Mega," ujar Greg.
Kesempatan berharga tersebut, ujarnya, telah disia-siakan PDI-P karena pada waktu yang bersamaan pemilih Partai Demokrat turun drastis dan akhirnya memilih untuk kembali ke partai semula atau justru memilih partai baru seperti Partai Nasdem. Dalam Pemilu 2014, perolehan suara PDI-P naik menjadi 19,17 persen dari sebelumnya 14,01 persen pada 2009.
Berdasarkan sebaran perhitungan suara PD ke partai lain yang dilakukan Litbang Kompas, mayoritas suara lari ke Partai Gerindra dengan komposisi 21,3 persen dan PDI-P bersama Golkar mendapat jatah 15,2 persen. Partai Hanura, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan mendapat suara merata sekitar 8 persen.