TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Girindra Sandino, menilai surat suara tertukar di banyak Tempat Pemungutan Suara, dan beberapa tercoblos massal tak bisa dianggap sepele oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Karena hampir dipastikan ke depannya banyak arus gugatan. Maka jangan dianggap remeh dan seperti angin lalu. Ini bukan tentang hasil pemilu, lancar, damai dan lain-lain. Lebih penting adalah proses berdemokrasi mendidik rakyat," ujar Girindra di Jakarta, Minggu (13/4/2014).
KIPP menilai, pertama, surat suara tertukar antardaerah pemilihan dalam satu kabupaten atau kota, kesalahan bukan dari pihak perusahaan. Dugaan kuat kesalahan dari pihak KPU Kabupaten atau Kota pada saat menyortir surat suara.
Kedua, surat suara tertukar di kabupaten atau kota dalam satu dapil, kesalahannya dari pihak perusahaan yang keliru dalam distribusinya. KPU Kabupaten atau Kota tetap salah karena tidak mengecek kesesuaian surat suara yang masuk (dalam bahasanya perusahaan, BAST).
Ketiga, surat suara tertukar antardapil beda kabupaten atau kota, kesalahan ada pada perusahaan dalam hal pengiriman dan juga kesalahan KPU Kabupaten atau Kota yang tidak mengecek lagi surat suara yang sudah sampai.
Keempat, juga ada perusahaan salah cetak surat suara. Sebagai contoh seharusnya di dapil tersebut ada lima calon, namun pada kertas surat suara ada enam calon. Terakhir, ada juga surat suara salah cetak yang model seharusnya dia caleg DPR RI, akan tetapi ternyata tercantum di surat suara DPRD provinsi.
Menurutnya, untuk beredarnya surat suara di masyarakat yang dicoblos dimana-mana, membuat semua kalangan, dan rakyat Indonesia bingung. Jangan sampai ada dugaan terjadi secara sistematis, terstruktur, dan masif.
Sementara untuk surat suara tercoblos secara massal seperti di 22 TPS di Ciampea, Bogor dan Nias Selatan, menunjukkan situasi demoralisasi politik menjadi lebih parah ketika muncul berbagai gejala ‘patologi demokrasi’ seperti ‘kleptomania suara pemilu’.
"Sebelum ‘patologi demokrasi’ menjadi gejala endemik dalam sistem politik, sudah seharusnya semua kekuatan demokratik kembali berjuang memulihkan nilai dan moralitas demokrasi, karena tanpa perjuangan politik untuk perbaikan budaya demokrasi, ‘patologi demokrasi’ akan berujung sebagai kuburan demokrasi," tambahnya.