Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi (SIGMA), Said Salahuddin mengatakan, selama ini para pimpinan parpol mengatakan tidak akan melakukan politik dagang sapi atau menyatakan tidak akan mengajukan syarat apapun atas dukungan yang diberikan oleh partainya kepada seorang capres.
Menurutnya, pernyataan semacam itu bukan saja tidak masuk akal, tetapi juga mengandung dusta. Sebab, tidaklah dibentuk partai politik, kecuali bertujuan untuk memperjuangkan cita-cita dan kepentingan politik parpol bersangkutan.
"Parpol punya kewajiban untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi politik para anggotanya dalam penyelenggaraan kegiatan politik, pemerintahan, serta untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan negara," kata Said dalam keterangan persnya, Jumat (2/5/2014).
Kongkretnya, kata Said dukungan parpol kepada capres haruslah dilandasi oleh spirit untuk mendudukkan anggota parpol bersangkutan dalam kabinet yang kelak dibentuk oleh capres terpilih. Dengan mendudukkan anggotanya yang kapabel pada suatu pos kementerian, maka visi, misi, dan program parpol akan dapat diimplementasikan untuk kesejahteraan rakyat.
Menurutnya, disana lah sesungguhnya esensi dari dukungan parpol kepada capres. Hal tersebut sangat logis, sebab itulah salah satu fungsi partai politik dalam praktik ketatanegaraan.
"Jadi parpol tidak perlu munafik. Tidak pula harus malu mengakui bahwa dukungan yang diberikan kepada capres adalah untuk ikut serta dalam pemerintahan baru nanti," ucapnya.
Para pimpinan buruh seharusnya jangan meniru 'politik kancil' ala pimpinan parpol yang demikian itu. Pimpinan buruh harus lebih berani mengutarakan kejujuran dan berterus terang mengatakan bahwa dukungan buruh kepada capres adalah untuk mendapatkan kursi kabinet. Itu lebih gentle dan bermartabat.
"Apabila pimpinan buruh menjadi menteri, maka agenda untuk mensejahterakan kaum buruh akan lebih mungkin dimplementasikan. Buat apa buruh mendukung capres kalau ujung-ujungnya menteri tenaga kerja, menteri perdagangan, dan menteri perindustrian, akan diisi oleh orang-orang yang proupah murah dan prooutsourcing," kata Said.
Said mengatakan, kalau mereka sungguh-sungguh ingin memperjuangkan kaum buruh, seharusnya pimpinan buruh lantang mengatakan akan rebut pos-pos kementerian yang terkait langsung dengan nasib kaum buruh. Dan itu baru namanya pejuang.
"Jadi, pimpinan buruh seperti Ketua Umum KSPSI Yorrys Raweyai yang juga adalah kader Partai Golkar, misalnya, harus berani mengatakan hal itu ketika kelompoknya akan mendukung ARB menjadi Presiden. Begitu pun dengan KSPSI pimpinan Andi Gani Nena Wea yang merupakan kader PDIP bersama Presiden KSBSI Mudhofir yang sudah lebih awal mendeklarasikan dukungan kelompoknya kepada Jokowi. Hal yang sama berlaku bagi Presiden KSPI Said Iqbal yang mendukung Prabowo," ucapnya.
Menurut Said, dengan menyatakan sikap yang jujur semacam itu, mungkin saja akan muncul cibiran atau tudingan bahwa pimpinan buruh dianggap haus kekuasaan, pragmatis, dan lain sebagainya. Tetapi dalam suatu perjuangan, pandangan negatif yang semacam itu adalah hal yang lumrah dan tidak boleh sekali-kali melemahkan semangat juang kaum buruh.
"Namun apabila kelak pimpinan buruh menjadi menteri, tetapi ternyata dia ingkar pada komitmennya untuk menyejahterakan rakyat, maka seluruh buruh di Indonesia tinggal menyiapkan tiang gantungan untuk mengazab pimpinan buruh yang semacam itu," ucapnya.