TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menilai kesediaan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical yang pada akhirnya bersedia menurunkan level dari capres menjadi cawapres adalah sebuah kesadaran diri. Kesadaran dari seorang Ical setelah mau mendengar suara-suara dari luar.
"Ical melewatkan momentum ketika Jokowi sowan untuk pertama kalinya ke parpol-parpol usai pemilu tanggal 9 April lalu. Kini, tinggalah Ical harus menerima tawaran yang realistis, mau berkoalisi namun mendapat tawaran minimal dari Gerindra yang notabene mendapat suara lebih sedikit daripada Golkar," ujar Ari Junaedi dalam pernyataannya, Selasa (6/5/2014).
"Ibaratnya, Ical kini terbelit oleh Andi Lau atau Antara Dillema dan Galau. Tidak menerima ajakan koalisi akhirnya gagal atau menerima koalisi namun dengan konsekuensi turun pangkat," sindir Ari.
Menurut pengajar program pascasarjana di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, kesediaan Ical menerima posisi "baru" sebagai cawapres berpotensi menimbulkan "gejolak" baru di tubuh partai berlambang pohon beringin.
Masalahnya, Golkar juga menggadang-gadang sejumlah nama sebagai cawapres seperti Akbar Tanjung, Luhut Panjaitan, dan Jusuf Kalla. Bahkan beberapa nama baru juga sempat disuarakan oleh organisasi sayap Golkar seperti nama Priyo Budi Santoso, Agung Laksono atau Ginanjar Kartasasmita.
"Dalam amatan saya, Gerindra pun juga kepepet menarik Golkar dalam gerbong koalisinya. Yang dibutuhkan Gerindra adalah suara Golkar, bukan sosok Ical yang sulit dijual. Mungkin Prabowo lebih sreg jika disandingkan dengan nama lain selain Ical dan Luhut Panjaitan. Kalau dengan Luhut, istilahnya jeruk makan jeruk atau tidak elok menyandingkan dua sosok mantan petinggi militer," papar Ari
Dengan Priyo pun, lanjut Ari, Prabowo kurang sepadan karena Priyo sendiri masih terganjal dengan terseretnya namanya di kasus korupsi alquran di Kementrian Agama dan jebloknya suara Priyo di dapil Surabaya dan Sidoarjo.
"Masak di laga pemilu saja sudah kalah masih juga dijual di level nasional ?," Ari Junaedi mempertanyakan.
Oleh karena itu, dalam amatan dosen S2 komunikasi politik di Universitas Persada Indonesia (UPI YAI) dan Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya ini, jika akhirnya Gerindra mengambil "mitra" adalah dengan partai Golkar maka nantinya PKS dan PAN akan merasa "terzholimi" secara politik.
Impian mengantarkan Anies Mata dari PKS atau Hatta Rajasa dari PAN untuk disandingkan sebagai "pengantin politik" dengan Prabowo Subianto akan berantakan.
"PKS dan PAN tentunya akan siap membentuk koalisi alternatif dengan Demokrat sepanjang SBY mampu memanfaatkan injury time dengan tepat. Pada akhirnya laga pilpres bisa jadi hanya memuncukan pertarungan dua pasangan capres dan cawapres yakni Jokowi dengan capres tentatif yang akan dimajukan Demokrat atau Prabowo jika pada akhirnya PPP jadi berlabuh bersama Gerindra dan Golkar," tuturnya lagi.
"Ibarat di Liga Primer Inggris, urutan nomor satu, dua dan tiga di klasemen sepakbola karta tertinggi di Inggris itu ditentukan lewat selisih gol. Demikian juga dengan nasib pasangan capres-cawapres kita," ucap Ari Junaedi.