TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin menilai ada dua skenario Komisi Pemilihan Umum untuk mengebut rekapitulasi agar penetapan hasil Pemilu Legislatif sesuai jadwal 9 Mei.
"Pertama, KPU akan membatasi ruang komplain bagi saksi peserta pemilu, termasuk membatasi kesempatan bagi Bawaslu Provinsi untuk menanggapi presentasi dari KPU provinsi," ungkap Said di Jakarta, Kamis (8/5/2014).
Jika skenario pertama yang dilakukan, implikasinya adalah muncul perlakuan berbeda KPU yang berujung pada ketidakadilan. Sebab, untuk daerah-daerah yang proses rekapitulasinya dilakukan lebih awal diberikan ruang yang luas untuk menyampaikan keberatan dan memperdebatkan data, sedangkan untuk daerah-daerah yang rekapitulasinya belakangan atau menjelang tanggal 9 Mei diperlakukan sebaliknya.
Menurut Said, adanya perlakuan yang berbeda tersebut merugikan calon anggota DPR dan anggota DPD dari daerah yang proses rekapitulasnya belakangan. Dalam konteks itulah muncul diskriminasi dan ketidakadilan.
"Sedangkan untuk skenario kedua, boleh jadi KPU akan memaksakan penetapan hasil Pemilu pada tanggal 9 Mei, sekalipun misalnya masih ada dapil yang belum tuntas direkap. Dalam hal ini KPU akan mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa hal yang demikian itu juga pernah terjadi pada Pemilu sebelumnya," sambungnya.
Seharusnya, KPU melakukan tugasnya lebih baik dari sebelumnya. Sehingga, tradisi KPU periode lalu tidak perlu diikuti. Kalau rekapitulasi disebut berhasil tercermin pada beresnya keseluruhan suara seluruh dapil yang ada.
Ia menduga, motif dari dua skenario ini sebetulnya keinginan KPU terhindar dari stigma sebagai penyelenggara pemilu yang gagal. Mereka tidak mau dicap gagal menyelenggarakan Pemilu oleh masyarakat. Keengganan KPU mengusulkan perpanjangan waktu penetapan lewat Perppu didasari dengan motif ini.
Perppu bermanfaat bagi KPU dengan maksud dapat memundurkan jadwal penetapan hasil pemilu, sehingga tak perlu buru-buru menyelesaikan proses rekapitulasi. Jika dilakukan secara terburu-buru dengan membatasi kompalin dari peserta Pemilu, selain memunculkan diskriminasi dan ketidakadilan, dikhawatirkan hasilnya ak berkualitas dan demokratis.
"Semakin banyak KPU mampu menyelesaikan masalah dalam proses rekapitulasi, MK akan lebih ringan menyelesaikan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan partai politik atau calon DPD," katanya lag.
Sebaliknya, kalau KPU mengabaikan masalah yang muncul dalam proses rekapitulasi, maka perkara PHPU di MK nanti cenderung menumpuk. Ada kesan, KPU menjadikan MK sebagai keranjang sampah dari masalah pemilu yang tak selesai saat pembahasan rekapitulasi.
"Karenanya, di sisa waktu yang ada, KPU harus berusaha maksimal terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam proses rekapitulasi, dan bukannya asal main lempar masalah ke MK. Lebih baiknya, KPU mengusulkan penerbitan Perppu kepada Presiden, demi keabsahan Pemilu 20114," tandasnya.