TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pola rekrutmen penyelenggara pemilu belakangan ini, dikritik keras oleh mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Chusnul Mariyah, dalam acara Persiapan Pengawasan Pemilu Presiden 2014 yang digagas Bawaslu.
"Rekrutmen KPU saat ini seperti rekrutmen buruh pabrik. Penyelenggara juga melakukan transaksi politik, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten atau Kota, KPU Provinsi, hingga KPU RI," ujar Chusnul di Lembang, Bandung, Rabu (21/5/2014).
Menurut dosen Universitas Indonesia ini, semua persoalan ini harus diatasi dengan pengawasan masyarakat sipil, pelibatan mahasiswa. Ia berpendapat, mahasiswa tergolong kelompok yang paling sedikit korupsinya.
"Karena, transaksi yang terjadi secara struktural. Enggak ada data IT yang aman dibawa dari bawah-pusat. Jadi terjadi tukar-menukar, jual beli suara di bawah tidak terdeteksi. Suara-suara yang pasti tak menang dialihkan ke caleg tertentu," tambahnya.
Ia menegaskan bahwa sistem bukan segalanya. Tapi, pelibatan masyarakat sipil dan mahasiswa jauh lebih penting.
Chusnul mengingatkan bahwa penyelenggara pemilu juga harus memiliki kompetensi utamanya menguasai ilmu politik. Ditambah dengan pengetahuan nasionalisme memadai. Sehingga rekrutmen penyelenggara tak bermasalah lagi.
"Ini persoalan rekrutmen. Proyek politik terbesar di dunia itu pemilu Indonesia. Tapi proyek politik ini dijalankan oleh orang yang tak berkompeten," tegas Chusnul.