News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Calon Presiden 2014

Empat Pilar Menuju Tata Baru Indonesia

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum Gerakan Ekayastra Unmada, AM Putut Prabantoro (kiri) dan Sekretaris Umum Gerakan Ekayastra Unmada, KH Maman Imanulhaq (dua kiri) bersama beberapa pengurus mengadakan kunjungan ke redaksi Tribunnews.com di Gedung Tribun, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2013). Kunjungan tersebut dalam rangka silaturahmi. TRIBUNNEWS/DH SAPTO NUGROHO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Jika 2014 merupakan Tahun Perubahan menuju Tata Baru Indonesia, ada 4 pilar budaya baru yang harus dibangun dalam pelaksanaan Pilpres.  

Pilar itu memang harus dibangun mengingat bangunan budaya politik santun dan cerdas sudah hancur karena politik uang bahkan dipersangat pada pileg April lalu.

Budaya politik uang, yang muncul pasca-reformasi ini,  telah merampas kedaulatan dan kehormatan rakyat, menempatkan kepentingan partai (koalisinya) di atas segalanya,  melupakan serta membelokan sejarah bangsa dari tujuan pendiriannya.

Demikian diungkapkan oleh Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro di Jakarta, Senin (2/6/2014). Dijelaskannya, pilar yang harus dibangun adalah nglurug tanpa bandha (menyerang tanpa materi / menolak politik uang), sugih tanpa ngasorake (kaya tanpa merendahkan / mengembalikan kehormatan kepada rakyat), digdaya tanpa bala (kuat tanpa pasukan / mengembalikan kedaulatan rakyat dan bukan koalisi) serta menang tanpa aji ( menang tanpa kemuliaan / yang menang dan mulia adalah rakyat seluruhnya karena legitimasi rakyat, bukan individu).
 
Menurut Putut Prabantoro, keempat pilar yang dibangun ini menyesuaikan dengan kondisi dan situasi politik sekarang ini. Filosofi yang selama ini dikenal yakni nglurug tanpa bala (menyerang tanpa pasukan), sugih tanpa bandha (kaya tapi tak berharta), menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan) dan digdaya tanpa aji (kuat tanpa kemuliaan).
 
Dijelaskan lebih lanjut, filosofi itu sebenarnya dapat dikategorikan sebagai Sun Tzu, yang sudah dikenal luas. Namun kenyataannya, filosofi itu sudah dilanggar oleh banyak pemimpin bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal itu terbukti dengan banyaknya pemimpin dan tokoh bangsa dari kalangan eksekutif, judikatif dan legislatif yang menjadi pasien KPK. Dan hal ini membuktikan bahwa bangsa ini sudah hancur.
 
“Oleh karenanya, jika ingin membangun Tata  Baru Indonesia diperlukan pilar-pilar baru yang memastikan tidak ada politik uang lagi dalam pemilu kali ini. Meski sulit untuk dilaksanakan, mengingat harga diri bangsa sudah dibeli, kedua capres harus melakukannya  jika ingin  menciptakan bangsa Indonesia dengan spirit yang baru. Ini merupakan perang bangsa Indonesia atas dirinya sendiri dan bukan perang melawan pengaruh asing,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia.
 
Faktor yang membuat sulit mendirikan pilar baru tata baru, demikian dijelaskan lebih lanjut, adalah kehacuran demokrasi hingga akar rumput. Kesulitan lain juga disebabkan karena Indonesia termasuk soft nation – bangsa lemah yang sangat labil atas serangan budaya baru.

Ciri soft nation ini adalah senantiasa bicara soal kebesaran nenek moyang namun tidak pernah memelihara budaya atau nilai-nilai luhur yang ditinggalkan.
 
“Ini berbeda sekali dengan bangsa yang tergolong hard nation – seperti China, Jepang dan Korea - yang tanpa harus berbicara soal nenek moyang namun senantiasa menjaga dan memelihara warisan nilai-nilai yang ditinggalkan. Kita bisa mengamati dari  hal yang sepele yakni soal penggunaan supit pada waktu makan. Kebiasaan menggunakan supit sudah ada sejak jaman dulu dan hingga sekarang supit senantiasa dipakai bahkan mendunia. Bagaimana dengan Indonesia?” ujar Putut Prabantoro.
 
Bangsa Indonesia bagaimanapun juga, ditegaskannya, harus mengakui sejarah kelam demokrasi semenjak reformasi 1998, yang memicu politik uang dan yang telah mengakibatkan kehancuran bangsa akibat menempatkan uang di atas segala-galanya, kehormatan rakyat bisa dibeli, pembodohan rakyat melalui akrobatik para politikus / para pemimpin bangsa dan diabaikanya Pancasila sebagai way of life atau filosofi bangsa Indonesia serta juga UUD 1945. Pileg yang baru saja berlalu pun sudah menjelaskan kehancuran demokrasi Indonesia di masa mendatang.
 
Oleh karena itu, dalam tata barunya, Indonesia harus menjadi hard nation yang mengembalikan Wawasan Nusantara sebagai cara pandang bangsa terhadap tanah air Indonesia yang seutuhnya agar tidak terpecah-pecah atau terbagi-bagi. Namun itu semua tergantung dari pemimpin bangsa yang akan datang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini