TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beredarnya keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang berisikan pemberhentian Prabowo Subianto dari ABRI disikapi Pemerintah dengan tidak mau berspekulasi. Pemerintah melemparkan bola panas kasus ini kepada Panglima TNI Jenderal Moeldoko.
"Saya tidak akan berandai-andai karena Panglima TNI sedang melakukan penyelidikan, kebenaran surat itu, kemudian dicari siapa yang mengedarkan," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/6/2014).
Djoko menilai surat yang beredar itu belum tentu benar. Ia mencontohkan surat panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga bisa dipalsukan. Sehingga, dia menyatakan, kewenangan mencari pelaku pembocoran surat itu berada di tangan Panglima TNI.
"Dicari sampai dapat. Panglima TNI sudah akan mencari," imbuhnya.
Surat keputusan DKP itu dibuat pada 21 Agustus 1998. Surat berklasifikasi rahasia itu ditandatangani para petinggi TNI kala itu. Dalam surat tersebut tercatat bahwa Ketua DKP adalah Subagyo HS, Letnan Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Wakil Ketua DKP, dan sekretaris adalah Djahari Chaniago. Adapun empat anggota DKP adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Ari J Kumaat, dan Yusuf Kartanegara.
Fachrul membenarkan substansi surat yang beredar. (baca: Pimpinan DKP Benarkan Surat Rekomendasi Pemberhentian Prabowo dari ABRI)
Di empat lembar surat itu tertulis pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI. Tindakan Prabowo juga disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara.
"Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukum administrasi berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan," demikian isi surat tersebut.