TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai barometer politik, Yogyakarta memiliki kekuatan moral melakukan perubahan politik bagi Indonesia untuk menuju negara demokrasi yang bersih, jujur dan tanpa politik uang.
Demi eksistensinya sebagai kota sejarah, masyarakat Yogyakarta seharusnya merasa tersinggung dengan praktik budaya “serangan fajar”. Selain itu, Jogyakarta juga diminta untuk secara tegas menolak politik uang serta mengawali pembaruan politik bersih serta bermartabat sebagaimana ketika memulai Orde Reformasi pada 1998. Demikian diuangkapkan Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro, di Jakarta, Minggu (15/6/2014).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa setiap langkah perubahan politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan Jogyakarta sebagai Kota Sejarah yang terkait dengan posisinya sebagai Kota Pelajar. Contoh yang masih hangat dalam ingatan adalah perubahan politik Indonesia dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru diawali dengan Pisowanan Agung masyarakat Jogyakarta kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tahun 1998.
Menurut Putut Prabantoro, politik uang dengan menggunakan istilah “Serangan Fajar” diambil dari judul film karya Arifin C. Noer pada 1982 yang bercerita tentang direbutnya kembali Jogyakarta oleh gerilyawan republik dari tangan penjajah Belanda.
Para gerilya menduduki kota itu hanya selama enam jam dengan diawali serangan pagi-pagi buta. “Serangan Fajar” pada jaman Orde Baru menjadi tontotan wajib bagi seluruh masyarakat Indonesia yang ditayangkan melalui TVRI.
“Namun sejak 1998, empat bulan setelah jatuhnya Orde Baru, film “Serangan Fajar” tidak menjadi tontonan wajib dengan alasan memanipulasi sejarah serta mengkultuskan Soeharto. Dengan datangnya sistem politik baru serta perebutan kekuasaan dengan sistem multi partai, istilah serangan fajar digunakan untuk menjelaskan munculnya budaya politik uang,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia.
Dijelaskannya lebih lanjut, praktik “serangan fajar” sebenarnya mendegradasi posisi Jogyakarta dan sekaligus Sri Hamengkubuwono IX sebagai tokoh sentral dibalik suksesnya perebutan kota Jogyakarta, yang pada waktu itu sebagai Ibu Kota RI.
“Oleh karena itu, jika masyarakat Jogyakarta juga permisif atas budaya politik uang “serangan fajar”, itu sama saja dengan pengingkaran masyarakatnya terhadap posisi Yogyakarta sebagai pilar NKRI sejak awal berdirinya Indonesia. Sehingga ketika pilar ini dihancurkan atau diruntuhkan dengan serangan fajar, NKRI pasti juga akan runtuh,” tegas Putut Prabantoro.
Yang menyedihkan, diungkapkannya, penghancuran Yogyakarta sebagai pilar NKRI dengan “serangan fajar” dilakukan oleh sebagian para politisi atau pemimpin bangsa yang pernah bersekolah di Jogyakarta.
Sehingga kalau mau dilukiskan, politik uang itu adalah bentuk lain dari cerita Malin Kundang dari Sumatera Barat dan para pemimpin bangsa menghapus nama besar Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan berpolitik kotor seperti itu.
“Bayangkan saja, ratusan ribu pelajar dan mahasiswa termasuk dari luar daerah bersekolah di Yogyakarta setiap tahunnya. Jika masyarakat Yogyakarta permisif atas politik uang atau serangan fajar, apakah ini bukan berarti kaderisasi pemimpin bangsa yang kelak akan menghancurkan bangsa sendiri ? Padahal, ratusan ribu mahasiswa ataupun pelajar itu sangat berpotensi menjadi agent of change untuk kemajuan ataupun kehancuran Indonesia.
Oleh karena itu, jika ingin menata kembali politik Indonesia yang bermartabat, berbudaya dan bersih, masyarakat Jogyakarta harus menolak politik uang dalam bentuk apapun. Penolakan masyarakat Jogyakarta atas politik uang juga merupakan tantangan bagi Sri Sultan Hamengkubuwono X, sebagai raja daerah tersebut, untuk menegakkan kembali Jogyakarta sebagai Pilar NKRI.
“Apakah harus ada Pisowanan Agung dulu untuk mengubah tatanan budaya menuju demokrasi anti politik uang ? Sri Sultan Hamengkubuwono yang tahu,” ujar Putut Prabantoro.