TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Chusnul Ma’riyah menegaskan calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo harus memasukkan kebijakan-kebijakan terkait kaum perempuan.
"Kedua capres baik Prabowo maupun Jokowi harus memperhatikan kondisi tersebut, jika berharap mendapat dukungan besar dari kaum perempuan, khususnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Banten, dan di kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua, kata Chusnul Mar’iyah dalam diskusi pilar negara ‘Peran perampuan dalam Pilpres 2014’ bersama Wakil Ketua MPR RI Melani Leimina Suharli dan Direktur eksekutif Indostrategi Andar Nubowo di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (16/6/2014).
Menurutnya, kebijakan itu bisa dilakukan secara paralel-bersamaan antara ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dia menyebutkan berbagai permasalahan perempuan seperti proses ibu melahirkan, kebidanan, perawat, dokter, termasuk akses transportasi jalan dan sebagainya, karena masih terdapat 70 ribu desa yang belum memiliki fasilitas ibu melahirkan atau reproduksi.
“Indonesia sebagai negara dengan muslim terbesar, dan Islam sangat memperhatikan kesehatan ibu dan anak yang mesti menyusui selama dua tahun agar anak cerdas dan sehat. Belum lagi terdapat 354 Perda dari 18 ribuan Perda, yang diskriminatif terhadap perempuan, dan seluruh kebijakan negara masih berdampak pada laki-laki,” katanya
Setelah 16 tahun reformasi ini, kata Chusnul, kebijakan terkait perempuan itu belum terlihat dalam konteks negara. Padahal, ekspektasi hidup perempuan lebih panjang dibanding laki-laki. Karena itu berbicara perempuan itu bukan saja masalah TKW yang dijadikan budak di Arab Saudi, melainkan juga bisa dilihat dari politik ide-nya.
"Seperti pembangunan ekonomi, industri, dan bagaimana bentuk kabinetnya. Kalau Prabowo pernah janji 30 % kabinetnya adalah perempuan," ujarnya.
Chusnul juga menyatakan keprihatinannya terhadap kekerasan yang terjadi pada perempuan baik di dunia kerja, ruang publik, transportasi umum dan sebagainya.
“Kekerasan terhadap perempuan di ruang publik itu sudah keterlaluan, selain dihabisi harta bendanya, diperkosa, dan bahkan dibunuh. Anehnya, transportasi publik itu masih dikuasai oleh swasta, harusnya oleh negara,” katanya.