Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TAK hanya sulit mengeja kata-kata sulit yang jarang dipakai di masyaakat, sign intepreter atau penerjemaah bahasa isyarat pada debat capres-cawapres Pilpres 2014 juga harus bisa menjiwai emosi dari capres-cawapres. Tujuannya agar pesan cawapres- cawapres bisa mudah dicerna serta semangat capres-cawapres sampai ke para penyandang tuna rungu.
Begitulah kisah suka-duka penerjemah bahasa isyarat yang ditugaskan secara khusus untuk menjadi penerjemah saat debat capres-cawapres disiarkan secara live di stasiun televisi berkat kerjasama KPU dan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyangdang Cacat (PPUA).
Salah seorang interpreter dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), Pinky CR Warouw menceriterakan, penerjemah bahasa isyarat debat capres-cawapres, bertugas menerjemahkan kalimat, intonasi, mimik atau ekspresi wajah dari capres-cawapres dan moderator saat menyampaikan pernyataan.
"Untuk capres nomor 1, tugas kami juga harus menyampaikan dengan pembawaan bahasa isyarat yang tegas, karena beliau menyampaikan, bicaranya juga tegas. Yang capres nomor 2 kan pembawaannya kalem, kami sampaikan dengana bahasa isyarat kalem juga. Nggak mungkin orang yang gemulai, kami sampaikan dengan pembawaan yang berapi-api," terang Pinky kepada Tribunnews.com di Jakarta.
Menurutnya, penerjemah bahasa isyarat juga akan memberikan gerakan bahasa isyarat tentang situasi yang terjadi di dalam lokasi debat, seperti keriuhan para pendukung. Bahkan, hal-hal kecil yang dilakukan oleh capres-cawapres saat debat turut diterjemahkan, seperti saat capres-cawapres batuk atau saat mengeluarkan guyonan.
"Saat ada joke (canda) dari capres di lokasi debat para penontonnya tertawa. Kami juga sampaikan itu. Kan yang tuna rungu menonton di rumah tidak tahu. Kalau kami tidak sampaikan, mereka bertanya-tanya, ada apa ini? Nanti kami salah lagi," ujar Pinky.
Meski demikian ada juga komplain dari masyarakat. Pinky dan dua rekannya antara lain Winda Utami dikira berpihak ke salah satu capres saat menerjemaahkan guyonan capres tersebut."Saya sudah kasih tahu ke KPU, kami ini cermin dari pembicara. Yang penting kami netral. Kan banyak yang dengar, tapi tidak mengerti hal itu," tuturnya.
Saat ditanya dari dua capres yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo siapa yang lebih mudah untuk diterjemahkan penyampaiannya, Pinky menyebut baik Prabowo mau pun Jokowi tidak ada yang lebih sulit untuk diterjemahkan pemaparannya.
Pinky yang menjadi penerjemah bahasa isyarat sejak tahun 2000 itu, mengaku sudah sering tampil di berbagai acara nasional, sehingga menterjemahkan bahasa kedua kandidat bukan lah suatu hal yang sulit.
Berbeda dengan Pinky, Winda Utami mengaku sempat gugup saat pertama kali tampil pada debat capres yang dilakukan pada 15 Juni 2014 lalu. Winda mengaku awalnya sedikit grogi lantaran ditonton jutaan pasang mata di tanah air. Namun itu hanya sebentar. Setelah menguasai materi, Winda mengaku tidak canggung lagi dan langsung lancar terjemahaannya.
Hanya saja, ia menyebut sempat salah mengartikan saat Jokowi menyebut kata Drone atau pesawat tanpa awak yang jarang ia dengar. Kata Drone ia terjemahkan perhuruf menjadi D-R-A- N. Namun berkat instrukturnya, ia langsung meralat pada kata berikutnya.
Apresiasi untuk KPU
Meski banyak kekurangan, Pinky dan Winda menyampaikan apresiasi atas kebijakan KPU yang telah menyediakan penerjemah bahasa isyarat untuk para penyandang tuna rungu dalam debat capres-cawapres Pilpres 2014 ini. "Salut untuk KPU yang menyediakan penerjemah bahasa isyarat dengan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) ini. Apalagi, KPU juga sudah berusaha menajaga netralitas dengan melakukan sumpah kepada kami," ujar Pinky.
Bagi Pinky, kebahagian atau suka menjadi seorang penerjemah bahasa isyarat dalam debat, yakni saat pesan visi dan misi yang sampaikannya capres-cawapres bisa dipahami oleh para tuna rungu sehingga mendapat referensi sebelum membuat pilihan capres-cawapres. "Kami senang karena diberi kepercayaan di ajang yang se-spektakuler ini," tuturnya.
Sementara, duka menjadi penerjemah bahasa isyarat yakni mengalami stress karena tuntutan netralitas dan tidaknya ada bahan panduan debat.
"Tapi, memang pelaksanaannya berat banget. Makanya kami stress, karena semua ini agar para tuna rungu bisa mengerti. Saya rasa kedua calon beban juga walaupun mereka tahu visi misinya. Tapi, mereka kan tinggal menyampaikan saja. Kalau kami tidak ada TOR persiapan," ujarnya.
Meski banyak duka, Pinky dan Winda bersedia kembali jika mendapatkan kesempatan menjadi penerjemah bahasa isyarat pada debat capres-cawapres pada lima tahun mendatang. "Karena kami di bawah Gerkatin, karena kami dipilih. Kalau nanti kami dipilih lagi, yah ayo. Yah, saya menunggu keputusan dari Gerkatin," tutupnya. (selesai)