TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga survei menjadi sorotan sejak keluarnya hasil hitung cepat atau quick count pemilihan umum presiden. Pasalnya, hasil quick count yang dilansir oleh lembaga survei tidak sama antara satu dan lainnya.
Dewan Pers pun memberi perhatian pada polemik yang melanda hasil hitung cepat tersebut. Dewan Pers pun berharap agar media tidak menggunakan lembaga survei yang manipulatif sebagai sumber informasi untuk pemberitaan.
"Jangan dipakai lembaga survei yang manipulatif sebagai sumber informasi," kata Nezar Patria, Anggota Dewan Pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (16/7/2014).
Nezar menuturkan, penyiaran quick count sebenarnya tidak bermasalah. Karena menurutnya pada Pemilu 2009 quick count menjadi alat ukur, dan pada 2009 kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan lawan politiknya menerima hasil hitung cepat tersebut.
"Tapi kok sekarang ada yang tidak menerima hasil quick count. Ini Pemilu tegang banget," ujarnya.
Menurutnya, pernyataan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang quick count patut dicurigai. Jika alasan KPI membuat keresahan, menurut Nezar penayangan hasil quick count tidak membuat resah seperti yang diembuskan KPI.
"Hasil quick count yang bermasalah agar cepat bertobat. Persepi harus tegas mengambil keputusan kepada lembaga survei," ucapnya.