TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Armando melihat ada keanehan yang sulit dibayangkan ketika melihat quick count oleh empat lembaga survei yang hasilnya berbeda dengan quick count delapan lembaga yang selama ini sudah dikenal kredibilitas dan presisinya.
Dia mencontohkan dua dari empat lembaga survei yang hasil hitungan cepatnya berbeda yakni Puskaptis dan Indonesia Research Centre (IRC). “IRC, dia adalah lembaga yang dimiliki oleh MNC, dia enggak masuk di asosiasi manapun," ucapnya.
Kemudian, ada yang menarik, bagaimana seperti disampaikan oleh Prof Hamdi Muluk, bahwa kantor Puskaptis ini engaa ada. Kan enggak bisa dibayangkan itu kan,” ungkap Ade Armando dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (16/7/2014).
Ade kemudian menyoroti bagaimana dinamika terakhir sebagaimana diberitakan pasca Poltracking mengungkap alasan pembatalan kontrak penayangan quick count dengan TV One.
Ade mengaku tidak bisa membayangkan bagaimana pada saat pelaksanaan pilpres yakni tanggal 9 Juli saja kontrak antara TV One dengan Puskaptis belum jelas, bagaimana itu bisa melakukan quick count.
“Bagaimana melakukan quick count, kalau di hari terakhir saja kontraknya enggak ada. Itu kan sudah sulit dibayangkan bagaimana persiapannya,” ujarnya.
Menurut Ade, kalau quick count dilakukan dengan benar, maka hasilnya prediksi mengenai hasil akhir penghitungan KPU dan pada umumnya tidak ada perbedaan signifikan jika metodologinya sama dan benar.
“Kewajiban kita mencari tahu mana yang salah dan mana yang benar. Tidak bisa kedua hasil yang berbeda itu benar semua. Ini penting sekali untuk dibuktikan. Karena itu, media massa tolong bantu sampaikan ke publik apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ade Armando yang merupakan mantan anggota KPI juga menyampaikan sikapnya yang tidak setuju kalau KPI melarang penayangan quick count. Apalagi melarang RRI melakukan dan menyiarkan hasil quick count.
“Yang dilarang itu kalau bohong. Kalau ada Komisi I sampai memanggil RRI itu berlebihan dan patut dipertanyakan ada apa. Kalau KPI menegur RRI kita jadi curiga. Ini negara demokrasi, kita percaya pada UU Pers. Kecuali kalau menyiarkan kebohongan atau fitnah, boleh KPI melarang,” jelasnya.