Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Komunikasi Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi mengatakan hasil hitung cepat lembaga survei tidak lain untuk mencegah kecurangan yang dilakukan saat rekapitulasi suara berjenjang.
Demikian disampaikan Burhanudin dalam "Seminar Sehari Quick Count, Etika Lembaga Riset, dan Tanggung Jawab Ilmuan," yang digelar the Indonesian Institute, di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Kamis (17/7/2014).
"Quick count itu untuk mengontrol kecurangan. Quick count pada dasarnya dilakukan peneliti untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan," imbuh Burhanudin yang juga Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
Dalam sejarah hitung cepat bisa antisipasi kecurangan. Di Filipina, The National Citizens Movement for Free Election (NAMFREL) pada Pilpres 1986, melakukan hitung cepat dengan jumlah relawan terbanyak dalam sejarah, yakni 500.000 orang.
Dari proses tersebut, Corazon Aquino mendulang suara terbanyak. Namun The Commission on Elections atau KPU Filipina mengumumkan pemenangnya adalah Ferdinand Marcos. Revolusi pun pecah untuk menumbangkan Marcos dan kembali mengusung Aquino.
Hal yang serupa juga pernah terjadi di negara lain seperti Peru dan Chilie. Burhanudin memaparkan apa yang dilakukan dan pernyataannya soal KPU, adalah untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan.
Sample hitung cepat diambil dari sejumlah TPS dan langsung diolah di data. Sedangkan KPU merekapitulasi suara secara berjenjang, dan melibatkan banyak pihak. Hal tersebut lebih berpotensi menimbulkan kecurangan.
"Bahwa quick count bisa memprediksi lebih cepat (kandidat yang menang, red), itu bonusnya," terang alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Pada 9 Juli lalu pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK mengklaim pemenang Pilpres 2014 berdasar hasil hitung cepat lembaga survei. Hasil hitung cepat pun terbelah karena ada yang memenangkan Prabowo-Hatta dan ada yang memenangkan Jokowi-JK.
Burhanudin menolak jika validitas hitung cepat harus menunggu hasil rekapitulasi suara KPU pada 22 Juli 2014. "Kita jangan jadikan 22 Juli sebagai pengontrol hitung cepat. Kalau begitu seolah-olah KPU mengontrol hitung cepat," terangnya.