TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pengerahan massa dalam bentuk apel siaga dari kubu pasangan Prabowo Subiyanto-Hatta Rajasa pada tanggal 22 Juli ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai merupakan langkah politik yang intimidatif.
Penilaian tersebut disampaikan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana, Jumat (18/7/2014).
"Rencana pengerahan massa ke KPU pada saat penetapan hasil Pilpres tanggal 22 Juli merupakan politik intimidatif," kata Ari.
Proses rekapitulasi suara dalam Pilpres, katanya, adalah proses yang berjenjang dimulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi.
Proses tersebut juga dilakukan secara terbuka, melibatkan berbagai pihak baik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemantau independen, dan juga saksi dari masing-masing kandidat.
"Itu artinya upaya mengerahkan massa pada tanggal 22 Juli hanyalah mencari panggung pertunjukkan yang tentu saja tidak ada urgensi pada proses perhitungan suara dan cenderung tidak percaya pada proses yg sudah berjalan," ujarnya.
Ari kemudian mengajak semua pihak harus mendukung KPU menjalankan tugasnya secara profesional dan independen tanpa harus mengintimidasinya.
Menurut dia, pengerahan massa justru memunculkan kesan bahwa mereka tidak siap dengan keputusan rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Sedianya, ribuan relawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa disebut akan dikerahkan untuk menjaga KPU saat pengumuman pemenang Pemilu Presiden 2014 pada 22 Juli mendatang.
Menurut anggota Dewan Penasihat Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Yunus Yosfiah, dikerahkannya ribuan relawan itu bukan untuk menimbulkan kerusuhan.
Sebaliknya, pengerahan relawan justru untuk menjaga suasana damai dan kondusif. Sementara Kubu Jokowi-JK sudah menginstruksikan larangan adanya pengerahan massa pendukung jelang pengumuman 22 Juli mendatang.