TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya untuk menunda pengumuman hasil perhitungan final hasil pemilu presiden, dianggap sebagai bentuk delegitimasi terhadap pemerintahan yang berdaulat.
Hal ini dikatakan oleh pengajar komunikasi politik Universitas Moestopo Beragama, Bayquni.
Penentuan 22 Juli 2014 sebagai hari pengumuman hasil perhitungan suara pilpres itu bukanlah seperti menghitung biji kacang.
''Tetapi ini sudah dilakukan dengan penghitungan yang matang. baik secara proses maupun secara hasil,'' katanya, Minggu (19/7/2014).
Hingga kini, perolehan sementara hasil pilpres, pasangan Prabowo - Hatta telah meraup 48,53 persen suara. Sementara pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla tercatat telah mengumpulkan 51,47 persen.
Bagi Bayquni, bila kubu Prabowo-Hatta ingin menunda pengumuman hasil penghitungan final lalu direstui oleh KPU maka hal ini merupakan bentuk delegitimasi terhadap pemerintahan berdaulat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lanjutnya, juga sudah menyatakan bila hasil tanggal 22 Juni dianggap tidak layak maka dapat dilanjutkan ke proses Mahkamah Konstitusi (MK).
''Ini artinya di sini tidak perlu ditunda. Kan sudah ada mekanisme yang dibuat oleh Presiden SBY. Bila ditunda justru delegitimasi pemerintah yang berkuasa,'' ujarnya.
Sementara itu, pengajar politik dan pemerintahan, FISIP Universitas Padjajaran (Unpad) Muradi menambahkan, usulan penundaan penghitungan suara oleh KPU tidak memiliki dasar yang kuat, cenderung menghancurkan tataran proses yang tengah berlangsung.
"Selain tidak berdasar pada kepentingan bangsa secara terintegral, usulan tersebut adalah bagian dari strategi hitam menghalau potensi kemenangan lawan, yang sejauh ini sudah unggul," tegas Muradi.