TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah pemerintah menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) saat warga tengah fokus ke pemilihan presiden dinilai sangat tepat. Demikian disampaikan pengamat ekonomi dari Universitas Padjajaran Bandung, Kodrat Wibowo.
"Timing pengumuman penghapusan subsidi ini sangat tepat dimana perhatian masyarakat tersedot pada hasil pemilihan presiden antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo," kata Kodrat, Selasa (22/7/2014).
Ia memperkirakan seandainya tidak ada efek Prabowo-Jokowi, bisa dipastikan masyarakat akan sedikit ribut. Apalagi penghapusan subsidi dengan penyesuaian TTL ini dilakukan menjelang puasa dan lebaran dimana harga-harga kebutuhan pokok sudah mulai merangkak naik.
“Kekhawatiran akan terjadi inflasi tinggi setelah penghapusan subsidi ini bisa dikendalikan dengan efek Prabowo-Jokowi,” ujarnya.
Kodrat mengingatkan pemerintah agar menyiapkan langkah antisipasi pada Agustus dan bulan-bulan berikutnya karena pasti ada perubahan tagihan listrik pada enam kelompok tersebut.
"Tentu saja, dari enam golongan itu, kelompok rumah tangga yang akan terdampak cukup siginifikan. Kelompok ini mengalami kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70 hingga 11,36 persen setiap dua bulan hingga akhir tahun ini," tuturnya.
Terkait dengan harga keekonomian TTL pada tahun 2015 nanti, Kodrat menilai tergantung pada kebijakan pemerintah terutama dalam meningkatkan elektrifikasi.
“Jika rencana 3 juta sambungan baru setiap tahun berjalan mulus, bisa jadi harga keekonomian listrik bisa cepat tercapai,” ujarnya.
Di sisi lain, Kodrat menilai langkah pemerintah dengan menghapus subsidi ini justru mengembalikan PLN pada perannya yang tak sekedar melayani publik tapi juga fokus pada profit oriented.
Dengan keuntungan yang diperolehnya, PLN bisa semakin ekspansi untuk mengembangkan bisnisnya melalui memperkuat pasar, memasang jaringan baru, meningkatkan layanan, hingga merekrut tenaga kerja baru yang lebih handal.
“Ini tak lepas dari posisi PLN yang masih memonopoli distribusi listrik ke masyarakat. Karena posisi monopoli inilah, subsidi tetap diberikan kepada kelompok tertentu sebagai wujud dari PSO,” ujarnya.
Kodrat menambahkan, penghapusan subsidi untuk mencapai harga keekonomian TTL ini sebagai langkah persiapan jika nanti ada pihak swasta diizinkan mendistribusikan listrik. “Pada saatnya nanti, PLN sudah semakin siap berkompetisi,” ujarnya.
Sejak 1 Juli lalu, pemerintah kembali menghapus subsidi listrik dengan menyesuaikan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL). Kali ini ada enam golongan yang dihapus subsidinya. Sebelumnya, pemerintah telah menghapus subsidi listrik untuk golongan I-3 go public dan I-4 pada 1 Mei lalu.
Kebijakan penghapusan ini dilakukan secara bertahap setiap dua bulan yang diberlakukan mulai 1 Juli hingga 1 November nanti. Keenam golongan tersebut mulai dari industri I-3 non go public, rumah tangga R-2 (3.500 VA s.d 5.500 VA), pemerintah P-2 (diatas 200 kVA), rumah tangga R-1 (2.200 VA), penerangan jalan umum P-3 dan rumah tangga R-1 (1.300 VA).
Kebijakan penghapusan subsidi ini juga telah disetujui Komisi VII DPR RI sehingga subsidi listrik untuk tahun berjalan RAPBN-P 2014 mencapai Rp 86,84 triliun (asumsi kurs Rp 11.700/US$). Dengan demikian, target harga keekonomian TTL diharapkan bisa tercapai hingga akhir tahun ini.
Di sisi lain, hasil dari penghapusan subsidi ini akan digunakan untuk membangun infrastruktur listrik desa dimana akan dibangun 3 juta sambungan baru setiap tahun.