TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyayangkan tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengeluarkan surat edaran untuk membuka kotak suara guna keperluan alat bukti di Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisioner Bawaslu, Nelson Simanjuntak, mengatakan di satu sisi KPU bisa dikatakan melanggar norma namun di sisi lain ada kebutuhan KPU dalam rangka menyiapkan gugatan persidangan di MK.
"Tindakan KPU membuka itu bukan pidana tapi pelanggaran administrasi. Kalau pelanggaran administrasi itu biasanya pelanggaran etik," ujar Nelson saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (1/8/2014).
Menurut Nelson, untuk menghindari kecurigaan dari berbagai pihak, KPU bisa saja mengirimkan surat ke MK sebagai pengugat legalisasi membuka kotak suara tersebut.
"Kalaupun harus dilakukan oleh KPU maka mintalah surat dari MK biar semuanya legal. Kalau sekarang kan semuanya curiga," kata dia.
Ke depan, Nelson meminta agar ada aturan tegas bagi KPU bisa membuka kotak suara untuk mempersiapkan diri memberikan jawaban dalam gugatan hasil Pemilu di MK.
"Bagaimana ke depan supaya diatur secara tegas bahwa dalam rangka persiapan gugatan ke MK maka bisa membuka kotak suara namun dengan syarat harus ada Panwas. Karena yang berkuasa di sini kan MK dan mereka harus menimbang-nimbang," tukas Nelson.
Sebelumnya, KPU mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1446 tanggal 25 Juli 2014 yakni surat yang ditujukan kepada KPU provinsi, kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk membuka kotak suara mengambil A5 dan C7 untuk difotokopi dan legesisir.
Sementara Surat Edaran Nomor 1449 adalah perintah kepada KPU provinsi yang ditembuskan kepada kepada Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, Sulsel, Sulbar, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, untuk siapkan diri menghadapi permohonan gugatan di MK kemudian membuat jawaban kemudian datang ke Jakarta untuk kordinasi dengan KPU RI. SE tersebut tanggal 23 Juli 2014.